Macam-macam Limbah
Pengertian Limbah
Definisi limbah atau Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) berdasarkan
BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses
produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity)
serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak
langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan
kesehatan manusia.
Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb,
Mn, Hg, dan Zn serta zat kimia seperti pestisida, sianida, sulfida,
fenol dan sebagainya. Cd dihasilkan dari lumpur dan limbah industri
kimia tertentu sedangkan Hg dihasilkan dari industri klor-alkali,
industri cat, kegiatan pertambangan, industri kertas, serta pembakaran
bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan timah hitam dan accu.
Logam-logam berat pada umumnya bersifat racun sekalipun dalam
konsentrasi rendah. Daftar lengkap limbah B3 dapat dilihat di PP No. 85 Tahun 1999: Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Silakan klik link tersebut untuk daftar lengkap yang juga mencakup peraturan resmi dari Pemerintah Indonesia.
Limbah bahan berbahaya dan beracun, disingkat limbah B3, adalah sisa
suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau
beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya,
baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau
merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan
hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Limbah dapat dikatakan sebagai limbah B3 apabila setelah melalui
pengujian memiliki salah satu atau lebih karakteristik mudah meledak,
mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, penyebab infeksi, dan
bersifat korosif.contoh limbah B3 sebagai berikut:
Limbah adalah buangan
yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun
domestik(rumah tangga), yang lebih dikenal sebagai sampah, yang
kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki
lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau
secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia Senyawa organik dan
Senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran
limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi
kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah.
Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada
jenis dan karakteristik limbah.
Limbah memberikan arti teknis adalah sebagai barang yang dihasilkan
oleh sebuah proses dan dapat dikategorikan sebagai bahan yang sudah
tidak terpakai . Limbah merupakan buangan yang dihasilkan dari suatu
proses produksi baik industry maupun domestic (rumah tangga atau yang
lebih dikenal sabagai sampah), yang kehadirannya pada suatu saat dan
tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai
ekonomis. Jenis sampah ini pada umumnya berbentuk padat dan cair.
Sampah (refuse) atau limbah adalah sebagian dari sesuatu yang
tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang
umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk
kegiatan industri), tetapi bukan biologis (karena human waste tidak
termasuk didalamnya) dan umumnya bersifat padat (Azwar, 1990). Sumber
sampah bisa bermacam-macam, diantaranya adalah : dari rumah tangga,
pasar, warung, kantor, bangunan umum, industri, dan jalan.
Macam-macam Limbah dan Bahaya Limbah
Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:
- Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada pemisahan awal dan banyak mengandung biomassa senyawa organik yang stabil dan mudah menguap.
- Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan flokulasi.
- Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan dengn lumpur aktif sehingga banyak mengandung padatan organik berupa lumpur dari hasil proses tersebut.
- Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan digested aerobic maupun anaerobic di mana padatan/lumpur yang dihasilkan cukup stabil dan banyak mengandung padatan organik.
Limbah B3 dikarakterisasikan berdasarkan beberapa parameter yaitu total solids residue (TSR), kandungan fixed residue (FR), kandungan volatile solids (VR), kadar air (sludge moisture content),
volume padatan, serta karakter atau sifat B3 (toksisitas, sifat
korosif, sifat mudah terbakar, sifat mudah meledak, beracun, serta sifat
kimia dan kandungan senyawa kimia).
Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb,
Mn, Hg, dan Zn serta zat kimia seperti pestisida, sianida, sulfida,
fenol dan sebagainya. Cd dihasilkan dari lumpur dan limbah industri
kimia tertentu sedangkan Hg dihasilkan dari industri klor-alkali,
industri cat, kegiatan pertambangan, industri kertas, serta pembakaran
bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan timah hitam dan accu.
Logam-logam berat pada umumnya bersifat racun sekalipun dalam
konsentrasi rendah. Daftar lengkap limbah B3 dapat dilihat di PP No. 85 Tahun 1999: Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Silakan klik link tersebut untuk daftar lengkap yang juga mencakup peraturan resmi dari Pemerintah Indonesia.
Limbah Logam Berat Beracun di Perairan
Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3,
terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang
tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari
perioda 4 sampai 7 (Miettinen, 1977). Sebagian logam berat seperti
timbal (Pb), kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) merupakan zat pencemar yang
berbahaya. Afinitas yang tinggi terhadap unsur S menyebabkan logam ini
menyerang ikatan belerang dalam enzim, sehingga enzim bersangkutan
menjadi tak aktif. Gugus karboksilat (-COOH) dan amina (-NH2)
juga bereaksi dengan logam berat. Kadmium, timbal, dan tembaga terikat
pada sel-sel membran yang menghambat proses transpormasi melalui dinding
sel. Logam berat juga mengendapkan senyawa fosfat biologis atau
mengkatalis penguraiannya (Manahan, 1977).
Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya racun
logam berat terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah)
sebagai berikut merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng (Zn), timah hitam (Pb),
krom (Cr), nikel (Ni), dan kobalt (Co) (Sutamihardja dkk, 1982).
Menurut Darmono (1995) daftar urutan toksisitas logam paling tinggi ke
paling rendah terhadap manusia yang mengkomsumsi ikan adalah sebagai
berikut Hg2+ > Cd2+ >Ag2+ > Ni2+ > Pb2+ > As2+ > Cr2+ Sn2+ > Zn2+.
Sedangkan menurut Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
(1990) sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokan ke dalam 3
kelompok, yaitu bersifat toksik tinggi yang terdiri dari atas
unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Bersifat toksik sedang terdiri dari
unsur-unsur Cr, Ni, dan Co, sedangkan bersifat tosik rendah terdiri atas
unsur Mn dan Fe.
Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung
terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung
terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam
berat ( PPLH-IPB, 1997; Sutamihardja dkk, 1982) yaitu :
- Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan)
- Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkomsumsi organisme tersebut
- Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Disamping itu sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu
Kadmium dalam air berasal dari pembuangan industri dan limbah
pertambangan. Logam ini sering digunakan sebagai pigmen pada keramik,
dalam penyepuhan listrik, pada pembuatan alloy, dan baterai alkali.
Keracunan kadmium dapat bersifat akut dan kronis. Efek keracunan yang
dapat ditimbulkannya berupa penyakit paru-paru, hati, tekanan darah
tinggi, gangguan pada sistem ginjal dan kelenjer pencernaan serta
mengakibatkan kerapuhan pada tulang (Clarkson, 1988; dan Saeni, 1997).
Tembaga merupakan logam yang ditemukan dialam dalam bentuk senyawa
dengan sulfida (CuS). Tembaga sering digunakan pada pabrik-pabrik yang
memproduksi peralatan listrik, gelas , dan alloy. Tembaga masuk
keperairan merupakan faktor alamiah seperti terjadinya pengikisan dari
batuan mineral sehingga terdapat debu, partikel-partikel tembaga yang
terdapat dalam lapisan udara akan terbawa oleh hujan. Tembaga juga
berasal dari buangan bahan yang mengandung tembaga seperti dari industri
galangan kapal, industri pengolahan kayu, dan limbah domestik.
Pada konsentrasi 2,3 – 2,5 mg/l dapat mematikan ikan dan akan
menimbulkan efek keracunan, yaitu kerusakan pada selaput lendir (Saeni,
1997). Tembaga dalam tubuh berfungsi sebagai sintesa hemoglobin dan
tidak mudah dieksresikan dalam urine karena sebagian terikat dengan
protein, sebagian dieksresikan melalui empedu ke dalam usus dan dibuang
kefeses, sebagian lagi menumpuk dalam hati dan ginjal, sehingga
menyebabkan penyakit anemia dan tuberkulosis.
Logam timbal (Pb) berasal dari buangan industri metalurgi, yang
bersifat racun dalam bentuk Pb-arsenat. Dapat juga berasal dari proses
korosi lead bearing alloys. Kadang-kadang terdapat dalam bentuk kompleks
dengan zat organik seperti hexaetil timbal, dan tetra alkil lead (TAL)
(Iqbal dan Qadir, 1990)
Pada hewan dan manusia timbal dapat masuk ke dalam tubuh melalui
makanan dan minuman yang dikomsumsi serta melalui pernapasan dan
penetrasi pada kulit. Di dalam tubuh manusia, timbal dapat menghambat
aktifitas enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin yang dapat
menyebabkan penyakit anemia. Gejala yang diakibatkan dari keracunan
logam timbal adalah kurangnya nafsu makan, kejang, kolik khusus, muntah
dan pusing-pusing. Timbal dapat juga menyerang susunan saraf dan
mengganggu sistem reproduksi, kelainan ginjal, dan kelainan jiwa (Iqbal
dkk 1990; Pallar, 1994)
Limbah Udang sebagai Material Penyerap Logam Berat
Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya.
Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan
invertebrata) yaitu sebagai pelindung (Neely dan Wiliam, 1969). Kulit
udang mengandung protein (25 % – 40%), kalsium karbonat (45% – 50%), dan
khitin (15% – 20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut
tergantung pada jenis udangnya. sedangkan kulit kepiting mengandung
protein (15,60% – 23,90%), kalsium karbonat (53,70 – 78,40%), dan khitin
(18,70% – 32,20%), hal ini juga tergantung pada jenis kepiting dan
tempat hidupnya (Focher et al., 1992). Kandungan khitin dalam
kulit udang lebih sedikit dari kulit kepiting, tetapi kulit udang lebih
mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak sebagai limbah.
Khitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi, pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan fungiue.
Pada tahun 1823 Odins mengisolasi suatu senyawa kutikula serangga janis
ekstra yang disebut dengan nama khitin (Neely dan Wiliam, 1969). Khitin
merupakan konstituen organik yang sangat penting pada hewan golongan
orthopoda, annelida, molusca, corlengterfa, dan nematoda. Khitin
biasanya berkonyugasi dengan protein dan tidak hanya terdapat pada kulit
dan kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trachea, insang,
dinding usus, dan pada bagian dalam kulit pada cumi-cumi (Neely dan
Wiliam, 1969). Adanya khitin dapat dideteksi dengan reaksi warna Van
Wesslink. Pada cara ini khitin direaksikan dengan I2-KI yang
memberikan warna coklat, kemudian jika ditambahkan asam sulfat berubah
warnanya menjadi violet. Perubahan warna dari coklat hingga menjadi
violet menunjukan reaksi positif adanya khitin.
Khitin termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul
tinggi dan merupakan melekul polimer berantai lurus dengan nama lain
-(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa (N-asetil-D-Glukosamin) (Hirano,b
1986; Tokura, 1995). Struktur khitin sama dengan selulosa dimana ikatan
yang terjadi antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada
-(1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yangbposisi
terikat pada atom karbon yang kedua pada khitin diganti oleh gugus
asetamida (NHCOCH2) sehingga khitin menjadi sebuah polimer berunit N-asetilglukosamin (The Merck Indek, 1976).
Khitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10
(Hirano, 1976) merupakan zat padat yang tak berbentuk (amorphous), tak
larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol,
dan pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang
pekat. Khitin kurang larut dibandingkan dengan selulosa dan merupakan
N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan khitosan adalah
khitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin.
-1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosabKhitosan yang disebut juga dengan
merupakan turunan dari khitin melalui proses deasetilasi. Khitosan juga
merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga jenis gugus
fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan skunder. Adanya
gugus fungsi ini menyebabkan khitosan mempunyai kreatifitas kimia yang
tinggi (Tokura, 1995).
Khitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3, dan H3 PO4, dan tidak larut dalam H2SO4.
Khitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat
polielektrolitik (Hirano, 1986). Disamping itu khitosan dapat dengan
mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh
karena itu, khitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang
industri terapan dan induistri kesehatan (Muzzarelli, 1986). Saat ini
budi daya udang dengan tambak telah berkembang dengan pesat, karena
udang merupakan komoditi ekspor yang dapat dihandalkan dalam
meningkatkan ekspor non -migas dan merupakan salah satu jenis biota laut
yang bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor
dalam bentuk udang beku yang telah dibuang bagian kepala, kulit, dan
ekornya.
Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan
udang, dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30% – 75% dari berat
udang. Dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha
pengolahan udang cukup tinggi (Anonim, 1994). Limbah kulit udang
mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat,
khitin, pigmen, abu, dan lain-lain (Anonim, 1994). Meningkatnya jumlah
limbah udang masih merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya
pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha
pengolahan udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah
pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang
dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang bagus (Manjang, 1993).
Saat ini di Indonesia sebagian kecil dari limbah udang sudah
termanfaatkan dalam hal pembuatan kerupuk udang, petis, terasi, dan
bahan pencampur pakan ternak. Sedangkan di negara maju seperti Amerika
Serikat dan Jepang, limbah udang telah dimanfaatkan di dalam industri
sebagai bahan dasar pembuatan khitin dan khitosan. Manfaatnya di
berbagai industri modern banyak sekali seperti industri farmasi,
biokimia, bioteknologi, biomedikal, pangan, kertas, tekstil, pertanian,
dan kesehatan. Khitin dan khitosan serta turunannya mempunyai sifat
sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi (Lang, 1995).
Isolasi khitin dari limbah kulit udang dilakukan secara bertahap
yaitu tahap pemisahan protein (deproteinasi) dengan larutan basa,
demineralisasi, tahap pemutihan (bleancing) dengan aseton dan natrium
hipoklorit. Sedangkan transformasi khitin menjadi khitosan dilakukan
tahap deasetilasi dengan basa berkonsentrasi tinggi, seperti terlihat
pada gambar 1 (Ferrer et al., 1996; Arreneuz, 1996., dan Fahmi,
1997). Khitin dan khitosan yang diperoleh dari limbah kulit udang
digunakan sebagai absorben untuk menyerap ion kadmium, tembaga, dan
timbal dengan cara dinamis dengan mengatur kondisi penyerapan sehingga
air yang dibuang ke lingkungan menjadi air yang bebas dari ion-ion logam
berat. Mengingat besarnya manfaat dari senyawa khitin dan khitosan
serta tersedianya bahan baku yang banyak dan mudah didapatkan maka perlu
pengkajian dan pengembangan dari limbah ini sebagai bahan penyerap
terhadap logam-logam berat diperairan.
Limbah Deterjen
Deterjen merupakan produk teknologi yang strategis, karena telah
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat modern mulai rumah
tangga sampai industri. Deterjen umumnya tersusun atas lima jenis bahan
penyusun, yaitu :
- surfaktan, yang merupakan senyawa Alkyl Bensen Sulfonat (ABS) yang berfungsi untuk mengangkat kotoran pada pakaian. ABS memiliki sifat tahan terhadap penguraian oleh mikroorganisme (nonbiodegradable).
- senyawa fosfat (bahan pengisi), yang mencegah menempelnya kembali kotoran pada bahan yang sedang dicuci. Senyawa fosfat digunakan oleh semua merk deterjen memberikan andil yang cukup besar terhadap terjadinya proses eutrofikasi yang menyebabkan Booming Algae (meledaknya populasi tanaman air)
- Pemutih dan pewangi (bahan pembantu), zat pemutih umumnya terdiri dari zat natrium karbonat. Menurut hasil riset organisasi konsumen Malaysia (CAP) Pemutih dapat menimbulkan kanker pada manusia. sedangkan untuk penwangi lebih banyak merugikan konsumen karena bahan ini membuat makin tingginya biaya produksi, sehingga harga jual produk semakin mahal. Padahal zat pewangi tidak ada kaitannya dengan kemampuan mencuci.
- bahan penimbul busa, yang sebenarnya tidak diperlukan dalam proses pencucian dan tidak ada hubungan antara daya bersih dengan busa yang melimpah.
- Fluorescent, berguna untuk membuat pakaian lebih cemerlang.
Menurut Asosiasi Pengusaha Deterjen Indonesia (APEDI), surfaktan
anionik yang digunakan di Indonesia saat ini adalah alkyl benzene
sulfonate rantai bercabang (ABS) sebesar 40% dan alkyl benzene sulfonate
rantai lurus (LAS) sebesar 60%. Dibandingkan dengan LAS, ABS merupakan
senyawa yang lebih sukar terurai secara alami. Oleh karenanya, pada
banyak negara di dunia penggunaan ABS telah dilarang dan diganti dengan
LAS. Sedangkan di Indonesia, peraturan mengenai larangan penggunaan ABS
belum ada. Beberapa alasan masih digunakannya ABS dalam produk deterjen,
antara lain karena : harganya murah, kestabilannya dalam bentuk krim
pasta dan busanya melimpah.
Penggunaan deterjen dapat mempunyai risiko bagi kesehatan dan
lingkungan. Risiko deterjen yang paling ringan pada manusia berupa
iritasi (panas, gatal bahkan mengelupas) pada kulit terutama di daerah
yang bersentuhan langsung dengan produk. Hal ini disebabkan karena
kebanyakan produk deterjen yang beredar saat ini memiliki derajat
keasaman (pH) tinggi. Dalam kondisi iritasi/terluka, penggunaan produk
penghalus apalagi yang mengandung pewangi, justru akan membuat iritasi
kulit semakin parah.
Dalam jangka panjang, air minum yang telah terkontaminasi limbah
deterjen berpotensi sebagai salah satu penyebab penyakit kanker
(karsinogenik). Proses penguraian deterjen akan menghasilkan sisa
benzena yang apabila bereaksi dengan klor akan membentuk senyawa
klorobenzena yang sangat berbahaya. Kontak benzena dan klor sangat
mungkin terjadi pada pengolahan air minum, mengingat digunakannya
kaporit (dimana di dalamnya terkandung klor) sebagai pembunuh kuman pada
proses klorinasi. Saat ini, instalasi pengolahan air milik PAM dan juga
instalasi pengolahan air limbah industri belum mempunyai teknologi yang
mampu mengolah limbah deterjen secara sempurna.
Penggunaan fosfat sebagai builder dalam deterjen perlu ditinjau
kembali, mengingat senyawa ini dapat menjadi salah satu penyebab proses
eutrofikasi (pengkayaan unsur hara yang berlebihan) pada sungai/danau
yang ditandai oleh ledakan pertumbuhan algae dan eceng gondok yang
secara tidak langsung dapat membahayakan biota air dan lingkungan. Di
beberapa negara Eropa, penggunaan fosfat telah dilarang dan diganti
dengan senyawa substitusi yang relatif lebih ramah lingkungan.
Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen, konsumen mempunyai hak
untuk memperoleh informasi suatu produk secara jelas, hak untuk memilih
dan hak untuk menuntut/menggugat produsen apabila produk mereka tidak
sesuai dengan klaimnya Berkaitan dengan hak konsumen tersebut,
diperlukan transparansi dari produsen mengenai kandungan produk deterjen
yang dihasilkannya dalam bentuk pelabelan komposisi bahan baku.
Persepsi masyarakat bahwa deterjen yang menghasilkan busa melimpah
mempunyai daya cuci yang baik adalah tidak benar. Untuk merubah persepsi
tersebut, diperlukan partisipasi baik dari pihak konsumen maupun
produsen. Di satu pihak, konsumenharus tahu bahwa tidak ada kaitan
antara daya cuci dan busa melimpah. Di lain pihak, produsen seharusnya
tidak lagi menggunakan “busa melimpah” dalam mempromosikan produknya.
Produksi deterjen Indonesia rata-rata per tahun sebesar 380 ribu ton.
Sedangkan tingkat konsumsinya, menurut hasil survey yang dilakukan oleh
Pusat Audit Teknologi di wilayah Jabotabek pada tahun 2002, per kapita
rata-rata sebesar 8,232 kg.
Regulasi yang berkaitan dengan deterjen di Indonesia masih belum
sepenuhnya mengakomodasi aspek lingkungan. Standar, sebagai salah satu
produk regulasi, yang berlaku sekarang dan digunakan sebagai acuan bagi
produk deterjen sudah berumur lebih dari 15 tahun dan tidak sesuai lagi
dengan tuntutan produk yang berwawasan lingkungan, sehingga perlu
direvisi, seiring dengan perkembangan teknologi dan perkembangan baku
mutu lingkungan.
Limbah Tinja
Bagian yang paling berbahaya dari limbah domestik adalah mikroorganisme patogen
yang terkandung dalam tinja, karena dapat menularkan beragam penyakit
bila masuk tubuh manusia, dalam 1 gram tinja mengandung 1 milyar
partikel virus infektif, yang mampu bertahan hidup selama beberapa
minggu pada suhu dibawah 10 derajat Celcius. Terdapat 4 mikroorganisme
patogen yang terkandung dalam tinja yaitu : virus, Protozoa, cacing dan
bakteri yang umumnya diwakili oleh jenis Escherichia coli (E-coli).
Menurut catatan badan Kesehatan dunia (WHO) melaporkan bahwa air limbah
domestik yang belum diolah memiliki kandungan virus sebesar 100.000
partikel virus infektif setiap liternya, lebih dari 120 jenis virus
patogen yang terkandung dalam air seni dan tinja. Sebagian besar virus
patogen ini tidak memberikan gejala yang jelas sehingga sulit dilacak
penyebabnya.
Saat ini E-coli adalah mikroorganisme yang mengancam Kali Mas.
Bakteri penghuni usus manusia dan hewan berdarah panas ini telah
mengkontaminasi badan air Kali Mas, dari Kajian Dhani Arnantha staf
peneliti Lembaga kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah menyebutkan
bahwa di Hulu Kali Mas tepatnya di daerah Ngagel jumlah E-coli dalam 100
ml air Kali Mas mencapai 350 milyar – 1600 milyar padahal dalam baku
mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam PP 82/2001 tentang
Pengendalian Limbah cair menyebutkan bahwa badan air yang dimanfaatkan
sebagai bahan baku air minum seperti Kali Mas kandungan E-coli dalam 100
ml air tidak boleh lebih dari 10.000.
Setelah tinja memasuki badan air, E-coli akan mengkontaminasi
perairan, bahkan pada kondisi tertentu E-coli dapat mengalahkan
mekanisme pertahanan tubuh dan dapat tinggal di dalam pelvix ginjal dan
hati.
Tingginya tingkat pencemaran domestik Kali Mas memberikan dampak yang
signifikan terhadap kualitas kesehatan masyarakat yang tinggal
disepanjang bantaran Kali Mas, hal ini merujuk pada data yang
dikeluarkan oleh Paguyuban Kanker Anak Jawa Timur RSUD Dr Soetomo
Oktober 2003 yang menyebutkan bahwa 59% penderita kanker anak adalah
leukimia dan sebagian besar dari penderita kanker ini tinggal di Daerah
Aliran Sungai Brantas (termasuk Kali Surabaya dan Kali Mas). Jenis
Kanker lainnya yang umum diderita Anak yang tinggal di Bantaran Kali
adalah kanker syaraf (neuroblastoma), Kanker kelenjar getah bening
(Limfoma), kanker ginjal (tumor wilms), dan Kanker Mata.
Ancaman serius ini harus memicu peran aktif Pemerintah dalam
mengendalikan pencemaran domestik, karena dibandingkan dengan Limbah
cair industri, penanganan sumber limbah domestik sulit untuk
dikendalikan karena sumbernya yang tersebar. Upaya yang dimaksudkan
bukan penyuluhan kepada masyarakat untuk tidak membuang tinja atau
deterjen kesungai, tetapi lebih kepada mengarahkan industri-industri
kita untuk menerapkan cleaner production (industri yang berwawasan
lingkungan) dengan menerapkan pengolahan limbah dan menghasilkan
produk-produk ramah lingkungan.
Sebagai konsumenpun masyarakat pemakai detergen juga harus berani
memilih dengan menggunakan produk-produk yang dihasilkan oleh industri
yang telah memiliki predikat hijau, predikat hijau ini diberikan oleh
Kantor kementrian Lingkungan Hidup dalam program Proper (Program
Pentaatn Industri) dalam program ini diberikan predikat emas untuk
industri yang menerapkan industri bersih, predikat Hijau untuk industri
yang telah mengelolah limbahnya dan telah mengembangkan community
development bagi masyrakat sekitar, predikat biru, Predikat Merah dan
Predikat hitam bagi industri yang menimbulkan kerusakan lingkungan.
Dengan memilih produk-produk dari industri berpredikat hijau berarti kita juga ikut serta dalam menjaga kualitas lingkungan.
Karakteristik Limbah
Karakteristik limbah:
- Berukuran mikro
- Dinamis
- Berdampak luas (penyebarannya)
- Berdampak jangka panjang (antar generasi)
Faktor yang mempengaruhi kualitas limbah adalah:
- Volume limbah
- Kandungan bahan pencemar
- Frekuensi pembuangan limbah
Berdasarkan karakteristiknya, limbah industri dapat digolongkan menjadi 4 bagian:
- Limbah cair
- Limbah padat
- Limbah gas dan partikel
- Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)
Indikasi pencemaran air dapat kita ketahui baik secara visual maupun pengujian, yaitu :
1. Perubahan pH (tingkat keasaman / konsentrasi ion hidrogen) Air
normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan memiliki pH netral
dengan kisaran nilai 6.5 – 7.5. Air limbah industri yang belum terolah
dan memiliki pH diluar nilai pH netral, akan mengubah pH air sungai dan
dapat mengganggukehidupan organisme didalamnya. Hal ini akan semakin
parahjika daya dukung lingkungan rendah serta debit air sungai rendah.
Limbah dengan pH asam / rendah bersifat korosif terhadap logam.
2. Perubahan warna, bau dan rasa Air normak dan air bersih tidak
akan berwarna, sehingga tampak bening / jernih. Bila kondisi air
warnanya berubah maka hal tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa
air telah tercemar. Timbulnya bau pada air lingkungan merupakan indikasi
kuat bahwa air telah tercemar. Air yang bau dapat berasal darilimba
industri atau dari hasil degradasioleh mikroba. Mikroba yang hidup dalam
air akan mengubah organik menjadi bahan yang mudah menguap dan berbau
sehingga mengubah rasa.
3. Timbulnya endapan, koloid dan bahan terlarut Endapan, koloid dan
bahan terlarut berasal dari adanya limbah industri yang berbentuk padat.
Limbah industri yang berbentuk padat, bila tidak larut sempurna akan
mengendapdidsar sungai, dan yang larut sebagian akan menjadi koloid dan
akan menghalangibahan-bahan organik yang sulit diukur melalui uji BOD
karena sulit didegradasi melalui reaksi biokimia, namun dapat diukur
menjadi uji COD. Adapun komponen pencemaran air pada umumnya terdiri
dari bahan buangan padat, bahan buangan organik, bahan buangan
anorganik.
Cara Pengelolaan Limbah
Tekhnologi Pengolahan Air Limbah
a. Trickling filter
Pembuangan air limbah baik yang bersumber dari kegiatan domestik
(rumah tangga) maupun industri ke badan air dapat menyebabkan pencemaran
lingkungan apabila kualitas air limbah tidak memenuhi baku mutu limbah.
Sebagai contoh, mari kita lihat Kota Jakarta. Jakarta merupakan sebuah
ibukota yang amat padat sehingga letak septic tank, cubluk
(balong), dan pembuangan sampah berdekatan dengan sumber air tanah.
Terdapat sebuah penelitian yang mengemukakan bahwa 285 sampel dari 636
titik sampel sumber air tanah telah tercemar oleh bakteri coli. Secara
kimiawi, 75% dari sumber tersebut tidak memenuhi baku mutu air minum
yang parameternya dinilai dari unsur nitrat, nitrit, besi, dan mangan.
Trickling filter. Sebuah trickling filter bed yang menggunakan plastic media.
Bagaimana dengan air limbah industri? Dalam kegiatan industri, air
limbah akan mengandung zat-zat/kontaminan yang dihasilkan dari sisa
bahan baku, sisa pelarut atau bahan aditif, produk terbuang atau gagal,
pencucian dan pembilasan peralatan, blowdown beberapa peralatan seperti kettle boiler dan sistem air pendingin, serta sanitary wastes.
Agar dapat memenuhi baku mutu, industri harus menerapkan prinsip
pengendalin limbah secara cermat dan terpadu baik di dalam proses
produksi (in-pipe pollution prevention) dan setelah proses produksi (end-pipe pollution prevention).
Pengendalian dalam proses produksi bertujuan untuk meminimalkan volume
limbah yang ditimbulkan, juga konsentrasi dan toksisitas kontaminannya.
Sedangkan pengendalian setelah proses produksi dimaksudkan untuk
menurunkan kadar bahan peencemar sehingga pada akhirnya air tersebut
memenuhi baku mutu yang sudah ditetapkan.
Parameter Konsentrasi (mg/L)
COD |
100 – 300 |
|
BOD |
50 – 150 |
|
Minyak nabati |
5 – 10 |
|
Minyak mineral |
10 – 50 |
|
Zat padat tersuspensi (TSS) |
200 – 400 |
|
pH |
6.0 – 9.0 |
|
Temperatur |
38 – 40 [oC] |
|
Ammonia bebas (NH3) |
1.0 – 5.0 |
|
Nitrat (NO3-N) |
20 – 30 |
|
Senyawa aktif biru metilen |
5.0 – 10 |
|
Sulfida (H2S) |
0.05 – 0.1 |
|
Fenol |
0.5 – 1.0 |
|
Sianida (CN) |
0.05 – 0.5 |
Batasan Air Limbah untuk Industri (Kepmen LH No. KEP-51/MENLH/10/1995).
Namun walaupun begitu, masalah air limbah tidak sesederhana yang
dibayangkan karena pengolahan air limbah memerlukan biaya investasi yang
besar dan biaya operasi yang tidak sedikit. Untuk itu, pengolahan air
limbah harus dilakukan dengan cermat, dimulai dari perencanaan yang
teliti, pelaksanaan pembangunan fasilitas instalasi pengolahan air
limbah (IPAL) atau unit pengolahan limbah (UPL) yang benar, serta
pengoperasian yang cermat.
Dalam pengolahan air limbah itu sendiri, terdapat beberapa parameter
kualitas yang digunakan. Parameter kualitas air limbah dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu parameter organik, karakteristik
fisik, dan kontaminan spesifik. Parameter organik merupakan ukuran
jumlah zat organik yang terdapat dalam limbah. Parameter ini terdiri
dari total organic carbon (TOC), chemical oxygen demand (COD), biochemical oxygen demand (BOD), minyak dan lemak (O&G), dan total petrolum hydrocarbons (TPH). Karakteristik fisik dalam air limbah dapat dilihat dari parameter total suspended solids
(TSS), pH, temperatur, warna, bau, dan potensial reduksi. Sedangkan
kontaminan spesifik dalam air limbah dapat berupa senyawa organik atau
inorganik.
Hazardous Material Container
Penanganan atau pengolahan Limbah B3, dengan metode Hazardous Material Container.
Limbah B3 harus ditangani dengan perlakuan khusus mengingat bahaya
dan resiko yang mungkin ditimbulkan apabila limbah ini menyebar ke
lingkungan. Hal tersebut termasuk proses pengemasan, penyimpanan, dan
pengangkutannya. Pengemasan limbah B3 dilakukan sesuai dengan
karakteristik limbah yang bersangkutan. Namun secara umum dapat
dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus memiliki kondisi yang baik,
bebas dari karat dan kebocoran, serta harus dibuat dari bahan yang tidak
bereaksi dengan limbah yang disimpan di dalamnya. Untuk limbah yang
mudah meledak, kemasan harus dibuat rangkap di mana kemasan bagian dalam
harus dapat menahan agar zat tidak bergerak dan mampu menahan kenaikan
tekanan dari dalam atau dari luar kemasan. Limbah yang bersifat self-reactive
dan peroksida organik juga memiliki persyaratan khusus dalam
pengemasannya. Pembantalan kemasan limbah jenis tersebut harus dibuat
dari bahan yang tidak mudah terbakar dan tidak mengalami penguraian
(dekomposisi) saat berhubungan dengan limbah. Jumlah yang dikemas pun
terbatas sebesar maksimum 50 kg per kemasan sedangkan limbah yang
memiliki aktivitas rendah biasanya dapat dikemas hingga 400 kg per
kemasan.
Limbah B3 yang diproduksi dari sebuah unit produksi dalam sebuah
pabrik harus disimpan dengan perlakuan khusus sebelum akhirnya diolah di
unit pengolahan limbah. Penyimpanan harus dilakukan dengan sistem blok
dan tiap blok terdiri atas 2×2 kemasan. Limbah-limbah harus diletakkan
dan harus dihindari adanya kontak antara limbah yang tidak kompatibel.
Bangunan penyimpan limbah harus dibuat dengan lantai kedap air, tidak
bergelombang, dan melandai ke arah bak penampung dengan kemiringan
maksimal 1%. Bangunan juga harus memiliki ventilasi yang baik,
terlindung dari masuknya air hujan, dibuat tanpa plafon, dan dilengkapi
dengan sistem penangkal petir. Limbah yang bersifat reaktif atau korosif
memerlukan bangunan penyimpan yang memiliki konstruksi dinding yang
mudah dilepas untuk memudahkan keadaan darurat dan dibuat dari bahan
konstruksi yang tahan api dan korosi.
Mengenai pengangkutan limbah B3, Pemerintah Indonesia belum memiliki
peraturan pengangkutan limbah B3 hingga tahun 2002. Namun, kita dapat
merujuk peraturan pengangkutan yang diterapkan di Amerika Serikat.
Peraturan tersebut terkait dengan hal pemberian label, analisa karakter
limbah, pengemasan khusus, dan sebagainya. Persyaratan yang harus
dipenuhi kemasan di antaranya ialah apabila terjadi kecelakaan dalam
kondisi pengangkutan yang normal, tidak terjadi kebocoran limbah ke
lingkungan dalam jumlah yang berarti. Selain itu, kemasan harus memiliki
kualitas yang cukup agar efektivitas kemasan tidak berkurang selama
pengangkutan. Limbah gas yang mudah terbagak harus dilengkapi dengan head shields
pada kemasannya sebagai pelindung dan tambahan pelindung panas untuk
mencegah kenaikan suhu yang cepat. Di Amerika juga diperlakukan rute
pengangkutan khusus selain juga adanya kewajiban kelengkapan Material Safety Data Sheets (MSDS) yang ada di setiap truk dan di dinas pemadam kebarakan.
Secured Landfill. Faktor hidrogeologi, geologi lingkungan, topografi, dan faktor-faktor lainnya harus diperhatikan agar secured landfill
tidak merusak lingkungan. Pemantauan pasca-operasi harus terus
dilakukan untuk menjamin bahwa badan air tidak terkontaminasi oleh
limbah B3.
Pembuangan limbah B3 (Disposal); Strategi yang digunakan dalam
pengelolaan B3 dan limbah B3 adalah melalui pengembangan sistem dan
peningkatan kapasitas pengawasan dan perizinan; mendorong penerapan
prinsip 3R (Reuse, Recycle, Recovery); penguatan kapasitas kelembagaan
daerah dalam pengelolaan B3 dan limbah B3; aliansi strategi dengan
stakeholders tingkat lokal, nasional, regional, maupun internasional.
Sebagian dari limbah B3 yang telah diolah atau tidak dapat diolah
dengan teknologi yang tersedia harus berakhir pada pembuangan (disposal). Tempat pembuangan akhir yang banyak digunakan untuk limbah B3 ialah landfill (lahan urug) dan disposal well (sumur pembuangan).
Di Indonesia, peraturan secara rinci mengenai pembangunan lahan urug
telah diatur oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) melalui
Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
Landfill untuk penimbunan limbah B3 diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu: (1) secured landfill double liner, (2) secured landfill single liner, dan (3) landfill clay liner dan masing-masing memiliki ketentuan khusus sesuai dengan limbah B3 yang ditimbun.
Dimulai dari bawah, bagian dasar secured landfill terdiri
atas tanah setempat, lapisan dasar, sistem deteksi kebocoran, lapisan
tanah penghalang, sistem pengumpulan dan pemindahan lindi (leachate),
dan lapisan pelindung. Untuk kasus tertentu, di atas dan/atau di bawah
sistem pengumpulan dan pemindahan lindi harus dilapisi geomembran.
Sedangkan bagian penutup terdiri dari tanah penutup, tanah tudung
penghalang, tudung geomembran, pelapis tudung drainase, dan pelapis
tanah untuk tumbuhan dan vegetasi penutup. Secured landfill harus dilapisi sistem pemantauan kualitas air tanah dan air pemukiman di sekitar lokasi agar mengetahui apakah secured landfill bocor atau tidak. Selain itu, lokasi secured landfill tidak boleh dimanfaatkan agar tidak beresiko bagi manusia dan habitat di sekitarnya.
Deep Injection Well. Pembuangan limbah B3 melalui
metode ini masih mejadi kontroversi dan masih diperlukan pengkajian yang
komprehensif terhadap efek yang mungkin ditimbulkan. Data menunjukkan
bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika Serikat paling banyak dilakukan
pada tahun 1965-1974 dan hampir tidak ada sumur baru yang dibangun
setelah tahun 1980.
Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika Serikat sebagai salah satu tempat pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous wastes).
Pembuangan limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah
B3 ke dalam formasi geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi
yang memiliki kemampuan mengikat limbah, sama halnya formasi tersebut
memiliki kemampuan menyimpan cadangan minyak dan gas bumi. Hal yang
penting untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah strktur dan
kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah setempat.
Limbah B3 diinjeksikan sedalam suatu formasi berpori yang berada jauh
di bawah lapisan yang mengandung air tanah. Di antara lapisan tersebut
harus terdapat lapisan impermeable seperti shale atau
tanah liat yang cukup tebal sehingga cairan limbah tidak dapat
bermigrasi. Kedalaman sumur ini sekitar 0,5 hingga 2 mil dari permukaan
tanah.
Tidak semua jenis limbah B3 dapat dibuang dalam sumur injeksi karena
beberapa jenis limbah dapat mengakibatkan gangguan dan kerusakan pada
sumur dan formasi penerima limbah. Hal tersebut dapat dihindari dengan
tidak memasukkan limbah yang dapat mengalami presipitasi, memiliki
partikel padatan, dapat membentuk emulsi, bersifat asam kuat atau basa
kuat, bersifat aktif secara kimia, dan memiliki densitas dan viskositas
yang lebih rendah daripada cairan alami dalam formasi geologi.
Hingga saat ini di Indonesia belum ada ketentuan mengenai pembuangan limbah B3 ke sumur dalam (deep injection well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini ditetapkan oleh Amerika Serikat dan dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:
- Dalam kurun waktu 10.000 tahun, limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara vertikal keluar dari zona injeksi atau secara lateral ke titik temu dengan sumber air tanah.
- Sebelum limbah yang diinjeksikan bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di atas, limbah telah mengalami perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya dan beracun.
- Pengolahan Awal (Pretreatment); Tahap pengolahan ini melibatkan proses fisik yang bertujuan untuk menghilangkan padatan tersuspensi dan minyak dalam aliran air limbah. Beberapa proses pengolahan yang berlangsung pada tahap ini ialah screen and grit removal, equalization and storage, serta oil separation.
Tujuan utama pengolahan air limbah ialah untuk mengurai kandungan bahan pencemar di dalam air terutama senyawa organik, padatan tersuspensi, mikroba patogen, dan senyawa organik yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme yang terdapat di alam. Pengolahan air limbah tersebut dapat dibagi menjadi 5 (lima) tahap:
- Pengolahan Tahap Pertama (Primary Treatment); Pada dasarnya, pengolahan tahap pertama ini masih memiliki tujuan yang sama dengan pengolahan awal. Letak perbedaannya ialah pada proses yang berlangsung. Proses yang terjadi pada pengolahan tahap pertama ialah neutralization, chemical addition and coagulation, flotation, sedimentation, dan filtration.
- Pengolahan Tahap Kedua (Secondary Treatment); Pengolahan tahap kedua dirancang untuk menghilangkan zat-zat terlarut dari air limbah yang tidak dapat dihilangkan dengan proses fisik biasa. Peralatan pengolahan yang umum digunakan pada pengolahan tahap ini ialah activated sludge, anaerobic lagoon, tricking filter, aerated lagoon, stabilization basin, rotating biological contactor, serta anaerobic contactor and filter.
- Pengolahan Tahap Ketiga (Tertiary Treatment); Proses-proses yang terlibat dalam pengolahan air limbah tahap ketiga ialah coagulation and sedimentation, filtration, carbon adsorption, ion exchange, membrane separation, serta thickening gravity or flotation.
- Pengolahan Lumpur (Sludge Treatment); Lumpur yang terbentuk sebagai hasil keempat tahap pengolahan sebelumnya kemudian diolah kembali melalui proses digestion or wet combustion, pressure filtration, vacuum filtration, centrifugation, lagooning or drying bed, incineration, atau landfill.
- c. Sedimentation
Pemilihan proses yang tepat didahului dengan mengelompokkan
karakteristik kontaminan dalam air limbah dengan menggunakan indikator
parameter yang sudah ditampilkan di tabel di atas. Setelah kontaminan
dikarakterisasikan, diadakan pertimbangan secara detail mengenai aspek
ekonomi, aspek teknis, keamanan, kehandalan, dan kemudahan peoperasian.
Pada akhirnya, teknologi yang dipilih haruslah teknologi yang tepat guna
sesuai dengan karakteristik limbah yang akan diolah. Setelah
pertimbangan-pertimbangan detail, perlu juga dilakukan studi kelayakan
atau bahkan percobaan skala laboratorium yang bertujuan untuk:
- 1. Memastikan bahwa teknologi yang dipilih terdiri dari proses-proses yang sesuai dengan karakteristik limbah yang akan diolah.
- 2. Mengembangkan dan mengumpulkan data yang diperlukan untuk menentukan efisiensi pengolahan yang diharapkan.
- 3. Menyediakan informasi teknik dan ekonomi yang diperlukan untuk penerapan skala sebenarnya.
Sedimentation. Sebuah primary sedimentation tank di sebuah unit pengolahan limbah domestik. Sedimentation tank merupakan salah satu unit pengolahan limbah yang sangat umum digunakan.
Bottomline, perlu kita semua sadari bahwa limbah tetaplah
limbah. Solusi terbaik dari pengolahan limbah pada dasarnya ialah
menghilangkan limbah itu sendiri. Produksi bersih (cleaner production)
yang bertujuan untuk mencegah, mengurangi, dan menghilangkan
terbentuknya limbah langsung pada sumbernya di seluruh bagian-bagian
proses dapat dicapai dengan penerapan kebijaksanaan pencegahan,
penguasaan teknologi bersih, serta perubahan mendasar pada sikap dan
perilaku manajemen. Treatment versus Prevention? Mana yang menurut teman-teman lebih baik?? Saya yakin kita semua tahu jawabannya. Reduce, recyle, and reuse.
Hipotesis
Apakah teman-teman tahu, apakah yang disebut dengan limbah?
Sebagai mahasiswa, teman-teman pasti tahu apa itu limbah. Bagaimanakah
keadaan Indonesia dengan adanya pencemaran limbah yang sangat
membahayakan kehidupan ekosistem dan lingkungan?
Dampak limbah domestik akan semakin terlihat saat memasuki musim
kemarau, hal ini dikarenakan volume debit air limbah tetap sedangkan
volume debit air Kali Mas dan Kali Surabaya mengalami penurunan hingga 3
kali. Pada musim penghujan debit air Kali Surabaya mencapai 60 m3/detik
sedangkan pada musim kemarau debit air turun menjadi 20 m3/detik. Hal
ini menurunkan kemampuan pengenceran air sungai terhadap kualitas limbah
domestik, akibatnya muncul buih-buih putih membentuk jajaran pulau
busa, dampak seperti ini sering terlihat dipintu pelepasan saluran
pembuangan di Darmo Kali hingga Pasar Keputarn dan Kayun hingga Monumen
Kapal selam seperti yang nampak pada berita Surabaya news, Senin 7 Juni
2004.
Limbah domestik terbagi dalam dua kategori yaitu pertama, limbah cair
domestik yang berasal dari air cucian seperti sabun, deterjen, minyak
dan pestisida.Kedua adalah limbah cair yang berasal dari kakus seperti sabun, shampo, tinja dan air seni.
Limbah cair domestik menghasilkan senyawa organik berupa protein,
karbohidrat, lemak dan asam nukleat Pada musim kemarau saat debit air
Kali Mas turun hingga 300% maka masukan bahan organik kedalam badan air
akan mengakibatkan penurunan kualitas air.
Pertama, badan air memerlukan oksigen ekstra guna mengurai ikatan
dalam senyawa organik (dekomposisi), akibatnya akan membuat sungai
miskin oksigen, membuat jatah oksigen bagi biota air lainnya berkurang
jumlahnya. Pengurangan kadar Oksigen dalam air ini sering mengakibatkan
peristiwa ikan munggut (ikan mati masal akibat kekurangan Oksigen).
Kedua, Limbah organik mengandung padatan terlarut yang tinggi
sehingga menimbulkan kekeruhan dan mengurangi penetrasi cahaya matahari
bagi biota fotosintetik.
Ketiga, puluhan ton padatan terlarut yang dibuang hampir lebih dari 3
juta orang di Surabaya akan mengendap dan merubah karakteristik dasar
sungai, akibatnya beberapa biota yang menetap didasar sungai akan
tereleminasi atau bahkan punah.
Dampak limbah organik ini umumnya disebabkan oleh dua jenis limbah
cair yaitu deterjen dan tinja. Deterjen sangat berbahaya bagi lingkungan
karena dari beberapa kajian menyebutkan bahwa detergen memiliki
kemampuan untuk melarutkan bahan bersifat karsinogen, misalnya 3,4
Benzonpyrene, selain gangguan terhadap masalah kesehatan, kandungan
detergen dalam air minum akan menimbulkan bau dan rasa tidak enak.
Sedangkan tinja merupakan jenis vektor pembawa berbagai macam penyakit
bagi manusia.
Indonesia dengan Pencemaran lingkungan dan Limbah
Kondisi geografis wilayah Indonesia semakin memudahkan pembuangan dan
penyelundupan limbah B3, ditambah pula masih rendahnya kesadaran para
pelaku usaha/kegiatan tentang bahaya dan pentingnya pengelolaan B3 dan
limbah B3. Hal inilah yang mendasari pentingnya pengelolaan B3 dan
limbah B3.
Pembangunan yang pesat dibidang ekonomi disatu sisi akan meningkatkan
kualitas hidup manusia, yaitu dengan meningkatnya pendapatan
masyarakat, tetapi di sisi lain akan berakibat pada penurunan kesehatan
akibat adanya pencemaran yang berasal dari limbah industri dan
rumahtangga. Hal ini karena kurangnya atau tidak memadainya fasilitas
atau peralatan untuk menangani dan mengelola limbah tersebut.
Pembanguan bidang kesehatan Indonesia telah berjalan selama lebih
kurang dua dasawarsa. Peningkatan derajat kesehatan yang optimal sebagai
tujuan dari pembangunan bidang kesehatan telah dilaksanakan, seperti
peningkatan dan pemerataan pembangunan bidan kesehatan.
Untuk mencapai hidup yang sehat, masyarakat selalu berinteraksi
dengan 4 faktor, yaitu faktor lingkungan, perilaku individu dan
masyarakat, pelayanan kesehatan, dan faktor bawaan (genetik).
Lingkungan sehat yang diharapkan adalah suatu lingkungan hidup yang
terencana, terorganisasi dinilai dari semua faktor yang ada pada
lingkungan fisik manusia, dikelola sedemikian rupa sehingga derajat
kesehatan dapat ditingkatkan.
Ditinjau dari sudut kepentingan masyarakat dalam berinteraksi dengan
lingkungan masih banyak sekali masalah–masalah lingkungan yang perlu
segera mendapat perhatian. Kebanyakan masyarakat, terutama terutama yang
hidup didaerah pedesaan belum mengetahui bahwa banyak sekali
masalah–masalah lingkungan disekitarnya mereka yang dapat berakibat
buruk terhadap kesehatan dan kelangsungan hidup mereka.
Keadaan dan masalah lingkungan yang berkaitan dengan kesehatan
masyarakat nampak sangat beragam. Berbagai faktor lingkungan yang
merugikan belum dapat diatasi, yang penting artinya dalam peningkatan
masyarakat itu sendiri. Ada juga faktor lingkungan yang bersifat
menguntungkan, belum dapat ditangani dengan baik sebagai karakteristik
kehidupan masyarakat, sifat–sifat dan kebiasaan, serta tingkat
pengetahuan masyarakat yang masih rendah.
Menurut organisasi kesehtan dunia (WHO), sanitasi didefinisikan
sebagai pengawasan faktor–faktor dalam lingkungan fisik manusia yang
dapat menimbulkan pengaruh yang merugikan terhadap perkembangan jasmani,
maka berarti pula suatu usaha untuk menurunkan jumlah penyakit manusia
sedemikian rupa sehinga derajat kesehatan yang optimal dapat dicapai.
Solusi atau Usaha yang dilakukan untuk Mengatasi Pencemaran Limbah atau Bahan Berbahaya dan Beracun
Pengenalan usaha–usaha sanitasi ditujukan kepada seluruh masyarakat,
diutamakan kepada penduduk yang berpenghasilan rendah dan tingkat
pengetahuan rendah baik dikota maupun di desa. Langkah awal yang dapat
dilakukan adalah mengupayakan perubahan perilaku masyarakat ke arah yang
lebih baik.berikut gambar hirarki pengelolaan limbah B3:
Beberapa cara yang dapat diterapkan sebagai usaha meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat adalah sebagai berikut :
Menggalakan Penyuluhan Tentang Hidup Sehat
Kepedulian dari lembaga–lembaga kesehatan seangat diharapakan
masyarakat. Pemanfaatan tempat–tempat pelayanan kesehatan masyarakat
merupakan upaya ideal dlam mewujudkan kesadaran masyarakat untuk
berperilaku sehat. Kepercayaan masyarakat terhadap petugas–pertugas
kesehatan dilingkungan adalah merupakan nilai tambah tersendiri.
Masyarakat akan lebih mudah menerima masukan–masukan yag diberikan.
Gambaran umum menunjukan bahwa lingkungan yang bermasalah bagi
kesehatan didominasi oleh penduduk berpenghasilan rendah dengan tingkat
pengetahuan yang rendah. Adanya asumsi bahwa timbulnya penyakit karena
kutukan adalah tidak relevan sama sekali. Masyarakat harus diberitahu
bahwa terjadinya penyakit adalah karena adanya interaksi antara 3
faktor, yaitu enviroment, host dan agent. Penyuluhan–peyuluhan dapat
diberikan pada saat kegiatan–kegiatan masyarakat berlangsung.
Penyuluhan yang cukup efektif dapat dilakukan terhadap ibu rumah
tangga, karena kondisi kesehatan keluarga erat hubungannya dengan
tingkat pengetahuan ibu. Pembinaan terhadap ibu–ibu dapat dilakukan
posyandu. Ibu rumah tangga dapat dianjurkan untuk memulai perilaku sehat
secara secara dini terhadap balitanya.
Kepada masayrakat yang tinggal di Daerah Aliran Sungai, perlu
dilakukan penyuluhan tentang penyehatan air agar layak konsumsi, dan
diajak untuk mengenal perubahan–perubahan yang terjadi disungai, seperti
perubahan warna air, banyaknya ikan yang mati atau gangguan lain,
dimana berarti sumber air yang mereka pakai telah kemasukan benda asing
yang berbahaya bagi kehidupan mereka.
Memberi Contoh Lingkungan Sehat bagi masyarakat
Kebanyakan masyarakat tidak akan menerima langsung isi
penyuluhan–penyuluhan tentang kesehatan. Masyarakat lebih tertarik
dengan hal–hal yang peraktis dan kurang sukar memikirkan secara mendalam
apa yang harus dilakukan terhadap lingkungannya agar mereka terhindar
dari penyakit. Sebaiknya masyarakat langsung ditunjukan contoh–contoh
lingkungan sehat yang akan dijadikan panutan agar lebih efektif dan
membantu. Contoh lingkungan sehat bagi masyarakat yang cocok adalah
suatu rumah sederhana dengan perkarangan yang bersih, mempunyai jamban
yang cukup syarat kesehatan, air yang cuup tersedia, dan tempat
pembuangan air limbah serta sampah tersedia baik. Dari adanya
contoh–contoh seperti ini, masyarakat akan mengerti bahwa dengan
kesederhanaan yang mereka miliki, mereka dapat juga menikmati lingkungan
yang sehat dan terhindar dari penyakit–penyakit yang timbul karena
keadaan lingkungan sekitar mereka.
Poster–poster sederhana juga dapat membantu masyarakat mengenal dan
menerapkan sanitasi lingkungan. Sarana–sarana desa seperti balai desa
dan pusat pelayanan kesehtan tersebut sering dikunjungi masyarakat.
Menunjang Kesehatan Mayarakat Dalam Bidang Sanitasi Lingkungan
Konsep dan teknis sanitasi yang cocok bagi suatu wilayah, kadangkala
dapat timbul dari masyarakat sendiri. Hal ini merupakan sumbangan besar
bagi terlaksananya usaha sanitasi lingkungan. Sanitasi lingkungan yang
dilakukan masyarakat kadang-kadang hanya tidak sengaja. Segai contoh,
pemanfaatan sampah rumahtangga oleh masyarakat tani untuk dijadikan
kompos. Tujuan utama mereka adalah untuk menambah bahan organik pada
tanaman yang diusahakan. Secara tidak sadar sebenarnya mereka telah ikut
meniadakan vektor–vektor penyakit yang hidup di sampah–sampah.
Kegiatan–kegiatan sanitasi seperti ini merupakan suatu potensi.
Adanya dukungan dari pihak–pihak yang berkompeten akan menumbuhkan peran
serta masyarakat. Masyarakat diberitahu bahwa apa yang mereka lakukan
adalah salah satu cara melepaskan mereka dari gangguan vektor penyakit.
Pemberian Pengahargaan Bagi Lingkungan Sehat
Keinginan untuk dihargai adalah mutlak dalam diri manusia.
Penghargaan dapat dinyatakan melalui dukungan terhadap apa yang telah
dilakukan, pemberian tambahan sarana–sarana dan hadiah jika
memungkinkan. Adanya penghargaan akan lebih memotivasi masyarakat untuk
meningkatkan kepedulian terhadap keadaan lingkungan yang berkaitan
dengan kesehatan.
Tujuan yang akan Dicapai
- Terbentuknya Budaya Hidup Bersih bagi masyarakat yang ada di lingkungan sekitar;
- Terciptanya pola hidup bersih secara individu dengan kehidupan nyata di masing–masing rumah tangga;
- Terciptanya kepedulian sosial terhadap lingkungan masyarakat sekitarnya;
- Terciptanya kesadaran masyarakat akan bahaya yang akan ditimbulkan dari pembuangan limbah atau sampah secara sembarangan;