Showing posts with label Immuno serology Test. Show all posts
Showing posts with label Immuno serology Test. Show all posts

April 25, 2019

7 types of bioassays

Bioassays are used to determine the potency of a biopharmaceutical by comparing the biological response related to its mode of action with that of a control preparation. The main considerations for bioassay design will be ease of use, reproducibility and primarily, cost: both financially and in personnel. Primary cells, frozen cells or cell extracts can all be utilized to give robust assay outputs and the days where radioisotopes were the only means of signal detection are, not quite long gone, but could feasibly be phased out in the next decade by all but the most ardent supporters.
Here we introduce the 7 main types of cell-based assay which can help you in your quest for that elusive blockbuster.

1. Intracellular signalling

The search for new drugs has led to the need to increase our understanding of the basis of cellular pathways, in order to find new druggable targets. The benefit of targeting intracellular signalling to bioassay design is that inhibiting a signal point in a signalling cascade can affect a wide variety of downstream proteins. These proteins can be measured in cells as active (i.e. phosphorylated) or inactive (native) forms via a number of techniques such as immunofluorescence, ELISA or western blotting, all of which can be scaled up for high throughput.

May 18, 2016

Teknik Pembuatan Sediaan(preparat) untuk Pemeriksaan Sitologi Dan Pemeriksaan Histologi Di laboratorium Patologi Anatomi.

Patologi Anatomi Adalah spesialis medis yang melakukan diagnosis penyakit berdasarkan pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, molekul atas organ, jaringan, dan sel. Yang melakukan diagnosis penyakit berdasarkan patologi anatomi adalah Spesialis patologi anatomi
Spesialis patologi anatomi mendiagnosis penyakit seseorang berdasar pemeriksaan laboratorium. Ada beberapa teknik pemeriksaan di laboratorium patologi anatomi diantaranya pemeriksaan Histologi (morfologi jaringan) atau Sitologi (Morfologi sel). Pada pemeriksaan lab analis kesehatan(teknisi laboratorium) bertugas membuat sediaan/preparat jaringan atau sel yang didapat dari si pasien. Sediaan harus dibuat sebaik mungkin agar spesialis dapat melakukan diagnosis yang akurat.

September 14, 2015

Western Blot - Cell Lysate Protocol

This protocol is intended to provide a set of initial conditions for analysis of cell lysates samples by Western blot. Further optimization may be required for individual samples or analytes. Follow manufacturer's protocols for specific reagents when applicable.

Preparation of Cell Lysates for Western blots:

Prepare total cell lysates by solubilizing cells in an appropriate sample buffer, such as 2X SDS sample buffer (20 mM dithiothreitol, 6% SDS, 0.25 M Tris, pH 6.8, 10% glycerol, 10 mM NaF and bromophenyl blue), at approximately 2x106-1x107 cells per mL. The extracts are heated in a boiling water bath for 5 minutes and then sonicated with 3-4 bursts of 5-10 seconds each.

September 11, 2015

Primary Antibody Selection & Optimization

The most important factor when designing an IHC/ICC experiment is selection of the primary antibody. In turn, the critical feature of a primary antibody is specificity for the epitope. All steps of an IHC/ICC experiment must be optimized to visualize specific staining and minimize non-specific background signals. This includes performing initial studies to determine the appropriate incubation conditions for each primary antibody. The working dilution for an antigen affinity-purified polyclonal antibody is generally lower than that of a monoclonal antibody but these values must be determined empirically. To achieve a robust and specific signal, a high quality antibody that exhibits minimal cross-reactivity should be employed.

Starting conditions for Primary Antibody Incubation

  Monoclonal Antibody Polyclonal Antibody
Tissue 5-25 µg/mL, overnight at 4 °C 1.7-15 µg/mL, overnight at 4 °C
Cells 5-25 µg/mL, 1 hour at room temperature 1.7-15 µg/mL, 1 hour at room temperature
Advantage Single epitope specificity Lower concentration required
Limitation Vulnerable to epitope masking Heterogeneous population

December 18, 2013

Rapid Test SD Bio Line 'Dengue Duo'

Cek Demam Berdarah Lewat Dengue Duo 
 
Semakin meningkatnya kasus demam berdarah maka dipandang perlu adanya alat untuk mendeteksi demam berdarah secara cepat, tepat dan akurat. Produk rapid test (tes cepat) Dengue Duo dari Indofarma bisa mendeteksinya secara cepat.

January 02, 2012

Struktur Imunoglobulin

Struktur dasar imunoglobulin terdiri atas 2 rantai berat (H-chain) yang identik dan 2 rantai rinngan (L-chain) yang juga identik. Setiap rantai ringan terikat pada rantai berat melalui ikatan disulfida (S-S), demikian pula rantai berat satu dengan yang lain diikat dengan ikatan S-S. Molekul ini oleh enzim proteolitik papain dapat dipecah menjadi tiga fragmen, yaitu 2 fragmen yang mempunyai susunan sama terdiri atas H-chain dan L-chain, disebut fragmen Fab yang dibentuk oleh domain terminal-N, dan 1 fragmen yang hanya terdiri atas H-chain saja disebut fragmen Fc yang dibentuk oleh domain terminal-C. 

December 26, 2011

Profil Hepatitis

Lima jenis virus hepatitis yang dapat dideteksi dengan uji laboratorium, yaitu : virus hepatitis A (hepatitis A virus, HAV), virus hepatitis B (hepatitis B virus, HBV), virus hepatitis C (hepatitis C virus, HCV), virus hepatitis D (hepatitis D virus, HDV), dan virus hepatitis E (hepatitis E virus, HEV). Virus hepatitis dapat dideteksi dengan pengujian antigen serum, antibodi, DNA, RNA, dan/atau immunoglobulin (IgG dan IgM).

Perbedaan virus-virus hepatitis berdasarkan metode transmisi, masa inkubasi,; ikterik, fase akut dan kronis dari penyakit, status carrier, imunitas, dan laju mortalitas adalah sebagai berikut :
  • Virus Hepatitis A (HAV)
    Virus hepatitis A terutama ditransmisikan lewat kontak fekal-oral. Ikterik merupakan tanda awal HAV yang dapat terjadi beberapa hari setelah infeksi virus dan dapat berlangsung selama 12 minggu. Antibodi terhadap HAV, yaitu IgM anti HAV dan IgG anti-HAV digunakan untuk mengkonfirmasi fase infeksi hepatitis A. IgM anti-HAV mengindikasikan fase akut infeksi (infeksi sedang berlangsung); muncul di awal infeksi dan menghilang dalam 2-3 bulan. IgG anti-HAV muncul lebih lambat dan mengindikasikan fase pemulihan, pasca infeksi, atau imunitas. Sekitar 45-50 % penderita HAV dapat memiliki IgG anti-HAV yang menetap seumur hidupnya.
  • Virus Hepatitis B (HBV)
    Virus hepatitis B jga disebut hepatitis serum. Terdapat berbagai uji serologik untuk mendiagnosis HBV dan untuk mengetahui daya tular serta prognosis penderita. Uji-uji yang tersedia secara komersial meliputi pemeriksaan antigen permukaan hepatitis B (hepatitis B surface antigen, HBsAg), antibodi HBsAg (anti-HBs), antibodi inti hepatitis B (anti HBc), antibodi IgM spesifik inti hepatitis B (IgM anti HBc), antigen e hepatitis B (HBeAg), antibodi e hepatitis B (anti-HBe).
    • Antigen permukaan hepatitis (HBsAg)
      Indikator paling awal untuk mendiagnosis infeksi virus hepatitis B adalah antigen permukaan hepatitis B (HBsAg). Penanda serum ini dapat muncul sekitar 2 minggu setelah penderita terinfeksi, dan akan tetap ada selama fase akut infeksi sampai terbentuk anti-HBs. Jika penanda serum ini tetap ada selam 6 bulan, hepatitis dapat menjadi kronis dan penderita dapat menjadi carrier. Vaksin hepatitis B tidak akan menyebabkan HBsAg positif. Penderita HBsAg positif tidak boleh mendonorkan darah.
    • Antibodi antigen permukaan hepatitis B (anti-HBs)
      Fase akut hepatitis B biasanya berlangsung selama 12 minggu, oleh karena itu HBsAg tidak didapati dan terbentuk anti-HBs. Penanda serum ini mengindikasikan pemulihan dan imunitas terhadp virus hepatitis B. IgM anti-HBs akan menentukan apakah penderita masih dalam keadaan infeksius. Titer anti-HBs >10 mIU/ml dan tanpa keberadaan HBsAg, menunjukkan bahwa penderita telah pulih dari infeksi HBV.
    • Antigen e hepatitis B (HBeAg)
      Penanda serum ini hanya akan terjadi jika telah ditemukan HBsAg. Biasanya muncul 1 minggu setelah HBsAg ditemukan dan menghilang sebelum muncul anti-HBs. Jika HBeAg serum masih ada setelah 10 minggu, penderita dinyatakan sebagai carrier kronis.
    • Antibodi antigen HBeAG (anti-HBe)
      Bila terdapat anti-HBe, hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi pemulihan dan imunitas terhadap infeksi HBV.
    • Antibodi antigen inti (anti-HBc)
      Anti HBc terjadi bersamaan dengan temuan HBsAg positif kira-kira 4-10 minggu pada fase HBV akut. Peningkatan titer IgM anti-HBc mengindikasikan proses infeksi akut. Anti-HBc dapat mendeteksi penderita yang telah terinfeksi HBV. Penanda serum ini dapat tetap ada selama bertahun-tahun, dan penderita yang memiliki anti-HBc positif tidak boleh mendonorkan darahnya.
      Pemeriksaan anti-HBc dan IgM anti-HBc sangat bermanfaat untuk mendiagnosis infeksi HBV selama “window period” antara hilangnya HBsAg dan munculnya anti-HBs.
  • Virus Hepatitis C (HCV)
    Istilah HBC sebelumnya dikenal dengan sebutan hepatitis non-A non-B. Virus ini ditransmisikan secara parenteral. Kasus ini lebih sering terjadi pada kasus pasca transfusi, tetapi juga perlu dipertimbangkan pada ketergantungan obat, tusukan jarum, hemodialisis, dan hemophilia. Kira-kira setengah dari kasus HCV akut menjadi carrier kronis.
    Antibodi virus hepatitis C (anti-HCV) : HCV dikonfirmasi dengan uji anti-HCV. Anti-HCV tidak mengindikasikan imunitas seperti yang dihasilkan oleh anti-HBs dan anti-HBe.
  • Virus Hepatitis D (HDV)
    Virus hepatitis D (delta) adalah suatu virus cacat yang hanya dapat menginfeksi penderita yang sudah mengalami infeksi HBV aktif. Virus ini ditransmisikan secara parenteral. Virus ini diselubungi oleh HBsAG, dan bergantung pada HBV untuk terjadinya replikasi. Infeksi HDV biasanya berat dan terjadi 7-14 hari setelah infeksi HBV yang akut dan parah. Infeksi HDV ini memiliki angka kejadian yang rendah, kecuali pada penyalahgunaan obat intravena, dan penderita yang menerima transfusi ganda. Infeksi HDV timbul sebagai fase akut HBV atau sebagai carrier kronis infeksi HBV. Dari semua jenis infeksi hepatitis, HDV merupakan hepatitis fulminas serta menimbulkan angka kematian yang tinggi.
    Antigen Hepatitis D (HDAg) : Deteksi HDAg dan HDV-RNA mengindikasikan fase akut HBV dan infeksi HDV. Ketika HBsAg hilang diikuti HDAg, anti-HDV timbul kemudian dan dapat mengindikasikan hepatitis D kronis.
  • Virus Hepatitis E (HEV)
    HEV ditransmisikan secara fekal-oral dan bukan parenteral. Hepatitis E terjadi akibat meminum air yang tidak bersih dan juga saat bepergian ke daerah Meksiko, Rusia, India, atau Afrika. Antibodi terhadap hepatitis E (anti-HEV) digunakan untuk mendeteksi infeksi hepatitis E.

Dihimpun dari :
  1. Kee, Joyce LeFever, 2007, alih bahasa : Sari Kurnianingsih et.al., Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik, edisi 6, EGC, Jakarta.
  2. Sacher, Ronald A. & Richard A. McPherson, alih bahasa : Brahm U. Pendit & Dewi Wulandari, 2004, Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 11, EGC, Jakarta.
  3. Widmann, Frances K., alih bahasa : S. Boedina Kresno, dkk., 1992, Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, EGC, Jakarta.

Antigen Permukaan Hepatitis B (HBsAg)

Antigen permukaan virus hepatitis B (hepatitis B surface antigen, HBsAg) merupakan material permukaan dari virus hepatitis B. Pada awalnya antigen ini dinamakan antigen Australia karena pertama kalinya diisolasi oleh seorang dokter peneliti Amerika, Baruch S. Blumberg dari serum orang Australia.
HBsAg merupakan petanda serologik infeksi virus hepatitis B pertama yang muncul di dalam serum dan mulai terdeteksi antara 1 sampai 12 minggu pasca infeksi, mendahului munculnya gejala klinik serta meningkatnya SGPT. Selanjutnya HBsAg merupakan satu-satunya petanda serologik selama 3 – 5 minggu. Pada kasus yang sembuh, HBsAg akan hilang antara 3 sampai 6 bulan pasca infeksi sedangkan pada kasus kronis, HBsAg akan tetap terdeteksi sampai lebih dari 6 bulan. HBsAg positif yang persisten lebih dari 6 bulan didefinisikan sebagai pembawa (carrier). Sekitar 10% penderita yang memiliki HBsAg positif adalah carrier, dan hasil uji dapat tetap positif selam bertahun-tahun.

Pemeriksaan HBsAg berguna untuk diagnosa infeksi virus hepatitis B, baik untuk keperluan klinis maupun epidemiologik, skrining darah di unit-unit transfusi darah, serta digunakan pada evaluasi terapi hepatitis B kronis. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menetapkan bahwa hepatitis akut yang diderita disebabkan oleh virus B atau superinfeksi dengan virus lain.

HBsAg positif dengan IgM anti HBc dan HBeAg positif menunjukkan infeksi virus hepatitis B akut. HBsAg positif dengan IgG anti HBc dan HBeAg positif menunjukkan infeksi virus hepatitis B kronis dengan replikasi aktif. HBsAg positif dengan IgG anti HBc dan anti-HBe positif menunjukkan infeksi virus hepatitis B kronis dengan replikasi rendah.

Pemeriksaan HbsAg secara rutin dilakukan pada pendonor darah untuk mengidentifikasi antigen hepatitis B. Transmisi hepatitis B melalui transfusi sudah hampir tidak terdapat lagi berkat screening HbsAg pada darah pendonor. Namun, meskipun insiden hepatitis B terkait transfusi sudah menurun, angka kejadian hepatitis B tetap tinggi. Hal ini terkait dengan transmisi virus hepatitis B melalui beberapa jalur, yaitu parenteral, perinatal, atau kontak seksual. Orang yang berisiko tinggi terkena infeksi hepatitis B adalah orang yang bekerja di sarana kesehatan, ketergatungan obat, suka berganti-ganti pasangan seksual, sering mendapat transfusi, hemodialisa, bayi baru lahir yang tertular dari ibunya yang menderita hepatitis B.


PROSEDUR

Metode

HBsAg dalam darah dapat dideteksi dengan tehnik enzyme immunoassay (EIA), enzyme linked immunoassay (ELISA), enzyme linked fluorescent assay (ELFA), atau immunochromatography test (ICT).

Spesimen
Spesimen yang digunakan untuk deteksi HBsAg adalah serum atau plasma heparin. Kumpulkan darah vena 3-5 ml dalam tabung tutup merah atau tutup kuning dengan gel separator, atau dalam tabung tutup hijau (lithium heparin). Pusingkan sampel darah, lalu pisahkan serum atau plasma untuk diperiksa laboratorium.

Spesimen yang ikterik (hiperbilirubin sampai dengan 500 µmol/l), hemolisis (kadar hemoglobin sampai dengan 270 µmol/l), dan lipemik (sampai dengan 30 mg/dl) dapat mempengaruhi hasil pembacaan.

Sampel dapat disimpan pada suhu 2-8oC selama 5 hari, atau -25 ±6oC sampai dengan 2 bulan.


NILAI RUJUKAN

Dewasa dan Anak-anak : Negatif


MASALAH KLINIS
HBsAg positif dijumpai pada : Hepatitis B, Hepatitis B kronis. Kurang Umum : Hemofilia, sindrom Down, penyakit Hodgkin, leukemia. Pengaruh obat : ketergantungan obat.


Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil Laboratorium

• Serum atau plasma ikterik, hemolisis, atau lipemik dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.

Antibodi Virus Hepatitis A (Anti HAV)


Virus hepatitis A merupakan Enterovirus RNA berukuran 27 nm, bentuk kubus dan simetris. Penyakit hepatitis A dulu dinamakan hepatitis infeksiosa atau hepatitis berinkubasi pendek. Penularan virus hampir selalu melalui jalur fekal-oral. Masa inkubasi untuk HAV biasanya 2-6 minggu. HAV tidak tidak berhubungan dengan penyakit hati kronis.

Diagnosis hepatitis A dibuat atas pengamatan klinis dan laboratorium. Penderita lesu, anoreksia, demam dan mual. Aminotransferase dan bilirubinemia hampir selalu ada; fosfatase alkali dan bilirubin direk sering tinggi. Diagnosis pasti ditegakkan dengan uji serologis.

IgM anti-HAV bermanfaat untuk mendiagnosis infeksi sedang terjadi. IgM anti-HAV muncul pada awal infeksi dan menghilang dalam 2 sampai 3 bulan. IgG anti-HAV timbul pada masa pasca infeksi atau pemulihan (>4 minggu), dan biasanya menetap sumur hidup. Pemeriksaan untuk anti-HAV total sebaiknya digunakan untuk menyaring infeksi lama dan pembuktian adanya imunitas pada orang yang mengunjungi daerah berisiko tinggi atau melakukan pekerjaan berisiko tinggi.



PROSEDUR

Metode
Antibodi terhadap hepatitis A dapat ditemukan dengan tehnik immunoassay, seperti enzyme immunoassay (EIA), enzyme linked immunoassay (ELISA), enzyme linked fluorescent assay (ELFA), atau radioimmunoassay (RIA). Membuktikan adanya viremia tidak mungkin, sedangkan untuk menyatakan virus dalam tinja diperlukan pemeriksaan mikroskop elektron.

Spesimen
Spesimen yang digunakan untuk deteksi anti HAV adalah serum atau plasma (lithium heparin, EDTA, dan sitrat). Kumpulkan 3-5 ml darah vena dalam tabung bertutup merah (tanpa antikoagulan), tutup hijau (heparin), tutup ungu (EDTA) atau tutup biru (sitrat). Pusingkan sampel darah, dan pisahkan serum atau plasma dari darah untuk diperiksa laboratorium.
Tidak ada pembatasan asupan makanan atau cairan.
Spesimen hemolisis, lipemia, atau ikterik (hiperbilirubinemia) dapat mempengaruhi pengujian. Jika memungkinkan, pengambilan sampel darah yang baru.
Spesimen dapat disimpan pada suhu 2-8oC sampai dengan 7 hari, dan untuk waktu yang lama dapat disimpan beku pada suhu -25 ± 6oC. Hindari pembekuan dan pencairan (thawing) spesimen berkali-kali.


NILAI RUJUKAN
Tidak terdeteksi (negatif)


MASALAH KLINIS
Hasil positif : infeksi virus hepatitis A (HAV)


Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil Laboratorium
• Pigmentasi specimen (hemolisis, lipemia, ikterik) dapat mempengaruhi hasil pembacaan

December 25, 2011

Faktor Reumatoid

Faktor reumatoid (rheumatoid factor, RF) adalah immunoglobulin yang bereaksi dengan molekul IgG. Karena penderita juga mengandung IgG dalam serum, maka RF termasuk autoantibodi. Faktor penyebab timbulnya RF ini belum diketahui pasti, walaupun aktivasi komplemen akibat adanya interaksi RF dengan IgG memegang peranan yang penting pada rematik artritis (rheumatoid arthritis, RA) dan penyakit-penyakit lain dengan RF positif. Sebagian besar RF adalah IgM, tetapi dapat juga berupa IgG atau IgA.

RF positif ditemukan pada 80% penderita rematik artritis. Kadar RF yang sangat tinggi menandakan prognosis yang buruk dengan kelainan sendi yang berat dan kemungkinan komplikasi sistemik.

RF sering dijumpai pada penyakit autoimun lain, seperti LE, scleroderma, dermatomiositis, tetapi kadarnya biasanya lebih rendah dibanding kadar RF pada rematik arthritis. Kadar RF yang rendah juga dijumpai pada penyakit non-imunologis dan orang tua (di atas 65 tahun).

Uji RF tidak digunakan untuk pemantauan pengobatan karena hasil tes sering dijumpai tetap positif, walaupun telah terjadi pemulihan klinis. Selain itu, diperlukan waktu sekitar 6 bulan untuk peningkatan titer yang signifikan. Untuk diagnosis dan evaluasi RA sering digunakan tes CRP dan ANA.

Uji RF untuk serum penderita diperiksa dengan menggunakan metode latex aglutinasi atau nephelometry.


Nilai Rujukan
DEWASA : penyakit inflamasi kronis; 1/20-1/80 positif untuk keadaan rheumatoid arthritis dan penyakit lain; > 1/80 positif untuk rheumatoid arthritis.
ANAK : biasanya tidak dilakukan
LANSIA : sedikit meningkat

*Nilai rujukan mungkin bisa berbeda untuk tiap laboratorium, tergantung metode yang digunakan.


Masalah Klinis
PENINGKATAN KADAR : rematik arthritis, LE, dermatomiositis, scleroderma, mononucleosis infeksiosa, leukemia, tuberculosis, sarkoidosis, sirosis hati, hepatitis, sifilis, infeksi kronis, lansia.


Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
  • Hasil uji RF sering tetap didapati positif, tanpa terpengaruh apakah telah terjadi pemulihan klinis.
  • Hasil uji RF bisa positif pada berbagai masalah klinis, seperti penyakit kolagen, kanker, sirosis hati.
  • Lansia dapat mengalami peningkatan titer RF, tanpa menderita penyakit apapun.
  • Akibat keanekaragaman dalam sensitivitas dan spesifisitas uji skrining ini, temuan positif harus diinterpretasikan berdasarkan bukti yang terdapat dalam status klinis pasien.

Anti Streptolisin O (ASO)

Streptokokus grup A (Stretokokus beta hemolitik) dapat menghasilkan berbagai produk ekstraseluler yang mampu merangsang pembentukan antibodi. Antibodi itu tidak merusak kuman dan tidak mempunyai dampak perlindungan, tetapi adanya antibodi itu dalam serum menunjukkan bahwa di dalam tubuh baru saja terdapat streptokokus yang aktif. Antibodi yang dibentuk adalah : antistreptolisin O (ASO), antihialuronidase (AH), antistreptokinase (anti-SK), anti-desoksiribonuklease B (AND-B) , dan anti nikotinamid adenine dinukleotidase (anti-NADase)

Tes ASO paling banyak digunakan; hasil tes ini positif pada 80% faringitis streptokokus; presentasi ini lebih rendah pada infeksi kulit. ASO muncul kira-kira 1-2 minggu setelah infeksi streptokokus akut, memuncak 3-4 minggu setelah awitan, dan tetap tinggi selama berbulan-bulan. Kadar ASO menurun sampai kadar sebelum sakit dalam waktu 6-12 bulan. ASO positif juga sering dijumpai pada glomerulonefritis, demam rematik, enokarditis bakterial, dan scarlet fever. Banyak anak usia sekolah memiliki kadar titer ASO yang lebih tinggi daripada anak usia pra sekolah dan dewasa.

Tes ASO yang tinggi (tunggal) memberi kesan adanya infeksi streptokokus yang baru lewat atau sedang berjalan.


Nilai Rujukan
  • DEWASA :
  • ANAK : Bayi baru lahir : sama dengan dosis ibunya, Usia 2 – 5 tahun : Usia 12 – 19 tahun

Masalah Klinis
PENURUNAN KADAR : pengaruh obat (antibiotic)
PENINGKATAN KADAR : demam rematik akut, glomerulonefritis akut, infeksi streptokokus pada saluran pernapasan atas, arthritis rheumatoid (kadarnya agak naik), penyakit hati disertai dengan hiperglobulinemia, penyakit kolagen (kadarnya agak naik).


Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
  • Terapi antibiotik dapat menurunkan respon antibodi,
  • Peningkatan kadar dapat terjadi pada orang sehat.

C-Reactive Protein (CRP)

Protein C-reactif (C-reactive protein, CRP) dibuat oleh hati dan dikeluarkan ke dalam aliran darah. CRP beredar dalam darah selama 6-10 jam setelah proses inflamasi akut dan destruksi jaringan. Kadarnya memuncak dalam 48-72 jam. Seperti halnya uji laju endap darah (erithrocyte sedimentation rate, ESR), CRP merupakan uji non-spesifik tetapi keberadaan CRP mendahului peningkatan LED selama inflamasi dan nekrosis lalu segera kembali ke kadar normalnya.

CRP merupakan salah satu dari beberapa protein yang sering disebut sebagai protein fase akut dan digunakan untuk memantau perubahan-perubahan dalam fase inflamasi akut yang dihubungkan dengan banyak penyakit infeksi dan penyakit autoimun. Beberapa keadaan dimana CRP dapat dijumpai meningkat adalah radang sendi (rheumatoid arthritis), demam rematik, kanker payudara, radang usus, penyakit radang panggung (pelvic inflammatory disease, PID), penyakit Hodgkin, SLE, infeksi bakterial.
CRP juga meningkat pada kehamilan trimester akhir, pemakaian alat kontrasepsi intrauterus dan pengaruh obat kontrasepsi oral.

Tes CRP seringkali dilakukan berulang-ulang untuk mengevaluasi dan menentukan apakah pengobatan yang dilakukan efektif. CRP juga digunakan untuk memantau penyembuhan luka dan untuk memantau pasien paska bedah, transplantasi organ, atau luka bakar sebagai sistem deteksi dini untuk kemungkinan infeksi.

High sensitive-CRP (hs-CRP)

Uji ini dapat mendeteksi inflamasi yang terjadi akibat pembentukan plak aterosklerotik pada pembuluh arteri koroner. hsCRP merupakan uji laboratorium yang sangat sensitif untuk resiko penyakit kardiovaskuler. Uji ini sering dilakukan bersama-sama dengan tes profil lipid (kolesterol, trigliserid, HDL, LDL). Nilai hsCRP positif jauh lebih rendah daripada nilai standar CRP serum sehingga uji ini menjadi lebih berguna dalam mendeteksi risiko penyakit jantung koroner (coronary heart disease, CHD), stroke, dan penyakit arteri perifer.

American Heart Association dan US Centers for Disease Control and Prevention telah menetapkan kelompok risiko sebagai berikut:
  • Risiko rendah : kurang dari 1,0 mg / L
  • Risiko rata-rata : 1,0-3,0 mg / L
  • Risiko tinggi : di atas 3,0 mg / L
Nilai-nilai tersebut hanya merupakan bagian dari proses evaluasi untuk penyakit kardiovaskuler.Tambahan faktor-faktor risiko yang perlu dipertimbangkan adalah peningkatan kadar kolesterol, LDL, trigliserida, dan glukosa. Selain itu, merokok, tekanan darah tinggi (hipertensi), dan diabetes juga meningkatkan tingkat risiko.


Prosedur

Tes CRP dapat dilakukan secara manual menggunakan metode aglutinasi atau metode lain yang lebih maju, misalnya sandwich imunometri. Tes aglutinasi dilakukan dengan menambahkan partikel latex yang dilapisi antibodi anti CRP pada serum atau plasma penderita sehingga akan terjadi aglutinasi. Untuk menentukan titer CRP, serum atau plasma penderita diencerkan dengan buffer glisin dengan pengenceran bertingkat (1/2, 1/4, 1/8, 1/16 dan seterusnya) lalu direaksikan dengan latex. Titer CRP adalah pengenceran tertinggi yang masih terjadi aglutinasi.

Tes sandwich imunometri dilakukan dengan mengukur intensitas warna menggunakan Nycocard Reader. Berturut-turut sampel (serum, plasma, whole blood) dan konjugat diteteskan pada membran tes yang dilapisi antibodi mononklonal spesifik CRP. CRP dalam sampel tangkap oleh antibodi yang terikat pada konjugat gold colloidal particle. Konjugat bebas dicuci dengan larutan pencuci (washing solution). Jika terdapat CRP dalam sampel pada level patologis, maka akan terbentuk warna merah-coklat pada area tes dengan intensitas warna yang proporsional terhadap kadar. Intensitas warna diukur secara kuantitatif menggunakan NycoCard reader II.

Nilai rujukan normal CRP dengan metode sandwich imunometri adalah < 5 mg/L. Nilai rujukan ini tentu akan berbeda di setiap laboratorium tergantung reagen dan metode yang digunakan.

Anti-Nuclear Antibodies (ANA)

Anti-nuklir antibodi (juga dikenal sebagai anti-nuclear factor atau ANF) adalah autoantibodi yang mempunyai kemampuan mengikat pada struktur-struktur tertentu didalam inti (nukleus) dari sel-sel lekosit. ANA yang merupakan imunoglobulin (IgM, IgG, dan IgA) bereaksi dengan inti lekosit menyebabkan terbentuknya antibodi, yaitu anti-DNA dan anti-D-nukleoprotein (anti-DNP). Anti-DNA dan anti-DNP hampir selalu dijumpai pada penderita SLE. Temuan anti-DNA akan berfluktuasi bergantung pada proses penyakit ini, yang disertai dengan remisi dan eksaserbasi. Anti-DNA 95% dapat ditemukan pada penderita nefritis lupus.

Uji ANA merupakan skrining untuk lupus eritematosus sistemik (SLE) dan penyakit kolagen lainnya. Kadar total ANA juga dapat meningkat pada penyakit skleroderma, rheumatoid arthritis, sirosis, leukemia, mononukleosis infeksiosa, dan malignansi. Untuk mendiagnosis lupus, temuan uji ANA harus dibandingkan dengan hasil uji lupus lainnya.


Masalah Klinis


ANA ditemukan pada pasien dengan sejumlah penyakit autoimun, seperti SLE (penyebab tersering), sklerosis sistemik progresif (PSS), sindrom Sjörgen, sindrom CREST, rheumatoid arthritis, skleroderma, mononukleosis infeksiosa, polymyositis, 's tiroiditis Hashimoto, juvenile diabetes mellitus, penyakit Addison, vitiligo, anemia pernisiosa, glomerulonefritis, dan fibrosis paru.
ANA juga dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi yang tidak dianggap sebagai penyakit autoimun klasik, seperti infeksi kronis (virus, bakteri), penyakit paru (fibrosis paru primer, hipertensi paru), penyakit gastrointestinal (kolitis ulseratif, penyakit Crohn, sirosis bilier primer, penyakit hati alkoholik), kanker (melanoma, payudara, paru-paru, ginjal, ovarium dan lain-lain), penyakit darah (idiopatik trombositopenik purpura, anemia hemolitik), penyakit kulit (psoriasis, pemphigus), serta orang tua dan orang-orang dengan keluarga dengan riwayat penyakit reumatik.

Banyak obat yang bisa merangsang produksi ANA, seperti prokainamid (Procan SR), antihipertensi (hidralazin), dilantin, antibiotik (penisilin, streptomisin, tetrasiklin), metildopa, anti-TB (asam p-aminosalisilat, isoniazid), diuretik (asetazolamid, tiazid), kontrasepsi oral, trimetadion, fenitoin. ANA yang dipicu oleh obat-obatan disebut sebagai drug-induced ANA.


Prosedur

Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk menguji ANA. Salah satu metode yang dipakai adalah imunofluorensensi tak langsung yang dinamakan Fluorescent Antinuclear Antibodi Test atau FANA. Prosedur ini dapat mengidentifikasi autoantibodi terhadap DNA, histon, atau antigen nuklear yang dapat larut. Antibodi yang dilekati zat fluorenscen diamati di bawah mikroskop dan menentukan pola dan intensitas fluoresensinya. Pada uji ini, serum diinkubasi pada suatu slide berisi sel epitel manusia monolayer (Hep-2 cell line). Jika terdapat antibodi, ia mengikat inti sel. Ikatan antibodi dideteksi dengan menambahkan anti-human IgG fluorescent. Sel yang positif menunjukkan fluoresensi hijau terang dengan pola pewarnaan yang berbeda. Sampel awalnya diuji pada pengenceran 1:160. Sampel yang positif kemudian diencerkan dan pola fluoresensi dan titer dilaporkan. Titer adalah pengenceran tertinggi dari serum yang masih menunjukkan pewarnaan imunofluoresensi inti.

Ada empat pola pewarnaan fluorescen mikroskopik dalam nukleus sel yang umumnya digunakan, yaitu homogen, berbintik, nukleolar, dan sentromer, yang menunjukkan distribusi karakteristik. Pola homogen ditunjukkan dengan pewarnaan yang seragam di seluruh nukleus, pola ini disebabkan oleh antibodi melawan DNA atau histon, atau kombinasi keduanya. Pola homogen diyakini menunjukkan SLE atau induksi obat SLE.

Pola berbintik atau berbercak adalah pola pewarnaan yang terletak pada nukleus, tetapi terdiri dari globul-globul interseksi kecil. Pola ini disebabkan karena antibodi melawan antigen selain DNA dan histon. Antigen-antigen ini disebut soluble atau extractable nuclear antigen (ENA), yang mencakup Sm (awalnya sesuai dengan nama pasien Smith yang menderita SLE) dan RNP (ribonukleoprotein). Titer tinggi antibodi anti-Sm mendukung SLE, sedangkan antibodi anti-RNP mendukung penyakit jaringan ikat campuran (MTCD) serta SLE, sindrom Sjörgen dan beberapa gangguan reumatik lain. Varian lain dari pola berbercak adalah antibodi melawan antigen nuklear sel yang berproliferasi (PCNA). Antibodi PCNA sangat spesifik untuk SLE, tetapi hanya sekitar 3% pasien SLE memiliki antibodi PCNA.

Pola nukleolar melengkapi pola berbercak sesungguhnya, yaitu memperlihatkan deposisi daerah yang tepat yang negatif pada pola berbercak. Antigen pada kasus ini adalah RNA nukleolar. Walaupun bisa terjadi pada SLE, pola nukleolar lebih spesifik untuk skleroderma yang juga disebut sklerosis sistemik progresif (PSS), suatu gangguan progresif yang melibatkan fibrosis dan degenerasi kulit, pembuluh darah, otot, sendi dan organ lain (visera).

Selain bereaksi dengan antigen nukleolar, autoantibodi yang khas untuk PSS juga bereaksi dengan sentromer dari tiap kromosom. Pola sentromer terdiri dari titik-titik positif kecil multipel yang tersebar merat di seluruh nukleus sel interfase, tetapi segaris dengan kromosom pada sel metafase. Pola sentromer spesifik untuk sindrom CREST.

Namun, beberapa tahun terakhir, pemakaian pola pewarnaan tersebut untuk kepentingan klinis telah berkurang. Hal ini karena reaktivitas antigenik (pola fluoresens) yang berbeda dan klasifikasi penyakit rematik sangat tumpang tindih, disamping telah tersedianya tes autoantibodi yang lebih spesifik. Penting bagi laboratorium yang mengerjakan pemeriksaan ANA untuk mengenali antibodi dengan baik dan mengklasifikasikannya dengan tepat untuk mencegah kerancuan dengan autoantibodi yang bermakna klinis sesungguhnya.

Selain dengan FANA, uji ANA juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) yang dianggap sensitif dengan biaya yang lebih rendah.

Sampel untuk pengujian ANA adalah serum. Kumpulkan 3-5 ml darah vena dalam tabung bertutup merah. Lakukan pemusingan dan pisahkan serumnya. Hindari terjadinya hemolisis. Tidak ada pembatasan asupan makanan atau minuman sebelum dilakukan sampling. Catat obat yang dikonsumsi pasien yang dapat mempengaruhi hasil laboratorium.


Nilai Rujukan

HASIL NORMAL : Negatif ( kurang dari 20 Units)

HASIL ABNORMAL : Equivocal : 20 – 60 Units, Positif : lebih dari 60 Units atau titer 1/160 atau lebih.

Nilai rujukan untuk tiap laboratorium mungkin bisa berbeda.


Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil Laboratorium

• Obat-obatan tertentu yang mempengaruhi hasil pengujian (lihat pengaruh obat)

• Proses penuaan dapat menyebabkan peningkatan kadar ANA.

Antibodi Antikardiolipin (ACA)

Antibodi antikardiolipin adalah protein yang ditemukan dalam tubuh yang bekerja melawan kardiolipin. Kardiolipin dan fosfolipid terkait lainnya adalah molekul lipid yang biasanya ditemukan di membran sel dan platelet serta memiliki peranan penting dalam pengaturan pembekuan darah. Ketika antibodi dihasilkan melawan kardiolipin, mereka akan meningkatkan risiko pembentukan bekuan darah yang tidak semestinya (trombosis) pada arteri dan vena.

Antibodi antikardiolipin termasuk kelompok antibodi antifosfolipid (APA) bersama dengan anticoagulan lupus (LA). LA menyebabkan pemanjangan masa tromboplastin parsial teraktivasi (APTT). Manifestasi klinik yang terkait dengan dengan masing-masing antibodi tampak serupa, yaitu trombosis. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa trombosis vena mungkin terkait dengan LA, dan trombosis arteri lebih lebih mungkin terkait dengan titer antibodi ACA yang tinggi. Antibodi antifosfolipid merupakan kelainan didapat; mungkin terjadi dalam kaitan dengan gangguan autoimun sistemik atau dengan sendirinya. Pasien tetap berisiko untuk trombosis selama masih ada autoantibodi tersebut.


Masalah Klinis

Peningkatan kadar antibodi antikardiolipin dijumpai pada sindrom antifosfolipid (trombosis arteri dan vena yang berulang, keguguran berulang), penyakit autoimun (SLE, HIV/AIDS), persalinan prematur, pre-eklampsia, retardasi pertumbuhan intrauterin, trombositopenia, malignansi (leukemia, gangguan limfoproliferatif dan plasmasitik, tumor padat), infeksi (bakteri, virus, protozoa), peristiwa neurologis termasuk serangan iskemik transient dan stroke, penyakit hati, dan penyakit dermatologik (reticularis livedo, acrocyanosis, pioderma, nekrosis kulit luas). Pengaruh obat : Klorpromazin, prokainamid, kuinidin, penisilin, berbagai antibiotik, fenitoin.


Prosedur

Antibodi antikardiolipin terdiri dari tiga macam, yaitu IgM, IgG, dan IgA. Pengujian antibodi IgM dan IgG antikardiolipin sering diminta untuk membantu menentukan penyebab trombosis, keguguran berulang, atau trombositopenia. Mungkin juga diminta bersama dengan pengujian antikoagulan lupus (LA) untuk membantu menyelidiki penyebab APTT memanjang, terutama jika temuan klinis menunjukkan bahwa pasien memiliki SLE atau gangguan autoimun yang lain. Jika hasil tes utama normal tetapi masih ada kecurigaan klinis, maka pengujian antikardiolipin antibodi IgA dapat dilakukan.

Jika satu atau lebih jenis antibodi antikardiolipin terdeteksi, maka pengujian yang sama biasanya diulang setidaknya setalah 6 minggu untuk membantu menentukan apakah kehadiran mereka adalah terus-menerus atau sementara. Jika tes negatif, mungkin bisa diuji ulang di kemudian hari karena antibodi ini dapat berkembang setiap saat.
Pengujian antibodi antikardiolipin dilakukan dengan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Pengujian dengan menggunakan analyzer otomatis memiliki ketelitian yang lebih baik.

Spesimen yang digunakan adalah serum yang diperoleh dengan cara mengumpulkan darah vena dalam tabung bertutup merah lalu memusingkan dengan sebuah centrifuger supaya serum terpisah dari sel-sel darah. Hindari tindakan yang menyebabkan hemolisis pada sampel. Tidak ada persiapan khusus atau pembatasan asupan makanan-minuman pada pasien sebelum sampling.


Nilai Rujukan
  • Hasil Normal (IgG dan IgM) : negatif (di bawah 20 Units)
  • Hasil Abnormal : equivocal (20-60 Units), positif (kadar di atas 60 Units)
Nilai rujukan dapat berbeda untuk tiap laboratorium, tergantung metode, alat atau reagen yang digunakan.


Faktor yang Mempengaruhi Temuan Laboratorium
  • Hemolisis pada sampel darah dapat menyebabkan hasil pengujian yang keliru.

December 24, 2011

Pengumpulan Spesimen Urine

Hasil pemeriksaan urine tidak hanya dapat memberikan informasi tentang ginjal dan saluran kemih, tetapi juga mengenai faal berbagai organ tubuh seperti hati, saluran empedu, pancreas, dsb. Namun, untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang akurat, diperlukan specimen yang memenuhi syarat. Pemilihan jenis sampel urine, tehnik pengumpulan sampai dengan pemeriksaan harus dilakukan dengan prosedur yang benar.
Jenis sampel urine :
  • Urine sewaktu/urine acak (random)Urine sewaktu adalah urine yang dikeluarkan setiap saat dan tidak ditentukan secara khusus. Mungkin sampel encer, isotonik, atau hipertonik dan mungkin mengandung sel darah putih, bakteri, dan epitel skuamosa sebagai kontaminan. Jenis sampel ini cukup baik untuk pemeriksaan rutin tanpa pendapat khusus.
  • Urine pagiPengumpulan sampel pada pagi hari setelah bangun tidur, dilakukan sebelum makan atau menelan cairan apapun. Urine satu malam mencerminkan periode tanpa asupan cairan yang lama, sehingga unsur-unsur yang terbentuk mengalami pemekatan. Urine pagi baik untuk pemeriksaan sedimen dan pemeriksaan rutin serta tes kehamilan berdasarkan adanya HCG (human chorionic gonadothropin) dalam urine.
  • Urine tampung 24 jamUrine tampung 24 jam adalah urine yang dikeluarkan selama 24 jam terus-menerus dan dikumpulkan dalam satu wadah. Urine jenis ini biasanya digunakan untuk analisa kuantitatif suatu zat dalam urine, misalnya ureum, kreatinin, natrium, dsb. Urine dikumpulkan dalam suatu botol besar bervolume 1.5 liter dan biasanya dibubuhi bahan pengawet, misalnya toluene.


Wadah Spesimen

Wadah untuk menampung spesimen urine sebaiknya terbuat dari bahan plastik, tidak mudah pecah, bermulut lebar, dapat menampung 10-15 ml urine dan dapat ditutup dengan rapat. Selain itu juga harus bersih, kering, tidak mengandung bahan yang dapat mengubah komposisi zat-zat yang terdapat dalam urine.


Prosedur Pengumpulan

Pengambilan spesimen urine dilakukan oleh penderita sendiri (kecuali dalam keadaan yang tidak memungkinkan). Sebelum pengambilan spesimen, penderita harus diberi penjelasan tentang tata cara pengambilan yang benar.

Spesimen urine yang ideal adalah urine pancaran tengah (midstream), di mana aliran pertama urin dibuang dan aliran urine selanjutnya ditampung dalam wadah yang telah disediakan. Pengumpulan urine selesai sebelum aliran urine habis. Aliran pertama urine berfungsi untuk menyiram sel-sel dan mikroba dari luar uretra agar tidak mencemari spesimen urine.

Sebelum dan sesudah pengumpulan urine, pasien harus mencuci tangan dengan sabun sampai bersih dan mengeringkannya dengan handuk, kain yang bersih atau tissue. Pasien juga perlu membersihkan daerah genital sebelum berkemih. Wanita yang sedang haid harus memasukkan tampon yang bersih sebelum menampung spesimen.

Pasien yang tidak bisa berkemih sendiri perlu dibantu orang lain (mis. keluarga atau perawat). Orang-orang tersebut harus diberitahu dulu mengenai cara pengumpulan sampel urine; mereka harus mencuci tangannya sebelum dan sesudah pengumpulan sampel; menampung urine midstream dengan baik. Untuk pasien anak-anak mungkin perlu dipengaruhi/dimaotivasi untuk mengeluarkan urine. Pada pasien bayi dipasang kantung penampung urine pada genitalia.

Pada kondisi tertentu, urine kateter juga dapat digunakan. Dalam keadaan khusus, misalnya pasien dalam keadaan koma atau pasien gelisah, diperlukan kateterisasi kandung kemih melalui uretra. Prosedur ini menyebabkan 1 - 2 % risiko infeksi dan menimbulkan trauma uretra dan kandung kemih. Untuk menampung urine dari kateter, lakukan desinfeksi pada bagian selang kateter dengan menggunakan alkohol 70%. Aspirasi urine dengan menggunakan spuit sebanyak 10 – 12 ml. Masukkan urine ke dalam wadah dan tutup rapat. Segera kirim sampel urine ke laboratorium.

Untuk mendapatkan informasi mengenai kadar analit dalam urine biasanya diperlukan sampel urine 24 jam. Cara pengumpulan urine 24 jam adalah :
  • Pada hari pengumpulan, pasien harus membuang urin pagi pertama. Catat tanggal dan waktunya. Semua urine yang dikeluarkan pada periode selanjutnya ditampung.
  • Jika pasien ingin buang air besar, kandung kemih harus dikosongkan terlebih dahulu untuk menghindari kehilangan air seni dan kontaminasi feses pada sampel urin wanita.
  • Keesokan paginya tepat 24 jam setelah waktu yang tercatat pada wadah, pengumpulan urin dihentikan.
  • Spesimen urine sebaiknya didinginkan selama periode pengumpulan.

Biakan Urine

Spesimen urine apabila ditampung secara benar mempunyai nilai diagnostic yang besar, tetapi bila tercemar oleh kuman yang bersal dari urethra atau peritoneum dapat menyebabkan salah penafsiran. Sampel urine acak cukup baik untuk biakan kuman. Namun, bila specimen urine acak tidak menunjukkan pertumbuhan, urine pekat atau urine pagi dapat digunakan.

Sampel urine yang dikumpulkan adalah urine midstream clean-catch. Biakan kuman dengan sampel ini dapat menentukan diagnosis secara teliti pada 80% penderita wanita dan hampir 100% penderita pria, apabila lubang uretra dibersihkan sesuai persyaratan. Urine clean-catch adalah spesimen urin midstream yang dikumpulkan setelah membersihkan meatus uretra eksternal. Urine jenis ini biasanya digunakan untuk tes biakan kuman (kultur). Sebelum mengumpulkan urine, pasien harus membersihkan daerah genital dengan air bersih atau steril. Jangan gunakan deterjen atau desinfektan. Tampung urine bagian tengah ke dalam wadah yang steril. Kumpulkan urin menurut volume direkomendasikan, yaitu 20 ml untuk orang dewasa dan 5-10 ml untuk anak-anak.

Pada keadaan yang mengharuskan kateter tetap dibiarkan dalam saluran kemih dengan sistem drainase tertutup, urine untuk biakan dapat diperoleh dengan cara melepaskan hubungan antara kateter dengan tabung drainase atau mengambil sampel dari kantung drainase.

Bila tidak memungkinkan memperoleh urine yang dikemihkan atau bila diduga terjadi infeksi dengan kuman anaerob, aspirasi suprapubik merupakan cara penampungan yang paling baik.

Spesimen yang menunjukkan pertumbuhan lebih dari satu jenis kuman, dianggap sebagai tercemar, kecuali pada penderita dengan kateter yang menetap.

Cara pengambilan sampel urine clean-catch pada pasien wanita :
  • Pasien harus mencuci tangannya dengan memakai sabun lalu mengeringkannya dengan handuk, kain yang bersih atau tissue.
  • Tanggalkan pakaian dalam, lebarkan labia dengan satu tangan
  • Bersihkan labia dan vulva menggunakan kasa steril dengan arah dari depan ke belakang
  • Bilas dengan air bersih dan keringkan dengan kasa steril yang lain.
  • Selama proses ini berlangsung, labia harus tetap terbuka dan jari tangan jangan menyentuh daerah yang telah dibersihkan.
  • Keluarkan urine, aliran urine yang pertama dibuang. Aliran urine selanjutnya ditampung dalam wadah steril yang telah disediakan. Pengumpulan urine selesai sebelum aliran urine habis. Diusahakan agar urine tidak membasahi bagian luar wadah.
  • Wadah ditutup rapat dan segera dikirim ke laboratorium.
Cara pengambilan urine clean-catch pada pasien pria :
  • Pasien harus mencuci tangannya dengan memakai sabun lalu mengeringkannya dengan handuk, kain yang bersih atau tissue.
  • Jika tidak disunat, tarik preputium ke belakang. Keluarkan urine, aliran urine yang pertama dibuang. Aliran urine selanjutnya ditampung dalam wadah steril yang telah disediakan. Pengumpulan urine selesai sebelum aliran urine habis. Diusahakan agar urine tidak membasahi bagian luar wadah.
  • Wadah ditutup rapat dan segera dikirim ke laboratorium
Aspirasi jarum suprapubik transabdominal kandung kemih merupakan cara mendapatkan sampel urine yang paling murni. Pengumpulan urine aspirasi suprapubik harus dilakukan pada kandung kemih yang penuh.
  • Lakukan desinfeksi kulit di daerah suprapubik dengan Povidone iodine 10% kemudian bersihkan sisa Povidone iodine dengan alkohol 70%
  • Aspirasi urine tepat di titik suprapubik dengan menggunakan spuit
  • Diambil urine sebanyak ± 20 ml dengan cara aseptik/suci hama (dilakukan oleh petugas yang berkompenten)
  • Masukkan urine ke dalam wadah yang steril dan tutup rapat.
  • Segera dikirim ke laboratorium.