August 20, 2012

DENGUE

Pendahuluan
Dengue merupakan penyakit virus asal arthropoda yang paling penting di daerah tropis dan subtropis di dunia dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di Amerika, Asia dan Afrika.1.2.3   Infeksi  Dengue merupakan masalah kesehatan internasional, badan kesehatan dunia The World Health Organization (WHO)  memperkirakan  sekitar 2,5 miliar penduduk dunia berisiko terinfeksi dengan kejadian infeksi 50 sampai 100 juta kasus setiap tahunnya.2,4
Dengue ditemukan di daerah tropis dan subtropis terutama diperkotaan dan pinggiran kota. Demam Berdarah Dengue, berpotensi terjadi komplikasi yang mematikan, dikenal pertama kali pada tahun 1950 pada kejadian epidemik di Thailand dan Philipina. Dewasa ini Demam Berdarah Dengue merupakan penyebab utama kasus perawatan rumah sakit dan kematian khususnya pada anak-anak. Proses penyembuhan dari infeksi oleh salah satu tipe virus akan menimbulkan kekebalan seumur hidup, akan tetapi tidak bersifat protektif terhadap ketiga tipe virus lainnya. Telah terdapat  banyak bukti yang menyatakan bahwa infeksi kedua (secondary infection) virus akan menyebabkan infeksi lebih berkembang ke arah Demam Berdarah Dengue (DBD). Insiden  Dengue di dunia sebanyak 2,5 miliar, sebanyak dua perlima penduduk dunia berada dalam risiko terinfeksi Dengue. Badan kesehatan dunia WHO memperkirakan 50 juta infeksi Dengue terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya. Ditahun 2007 sendiri dilaporkan 890.000 kasus infeksi Dengue di Amerika, dimana 26.000 adalah infeksi Demam Berdarah Dengue.1
Meskipun banyak  infeksi Dengue bersifat asimtomatik, beberapa menimbulkan bermacam-macam gejala klinis mulai dari demam ringan yang tidak spesifik, Dengue fever (DF), Dengue haemorraghic fever (DHF) sampai yang mengarah kepada penyakit yang berat Dengue shock syndrome (DSS).  Demam Dengue  (DF) ditandai dengan demam, kemerahan kulit, sakit kepala, nyeri tulang  dan lesu akan tetapi gejala dapat berkembang ke arah yang lebih berat yaitu (DHF/DSS). DHF ditandai dengan kelainan vaskuler yaitu kebocoran kapiler dan gangguan hematologis dengan penurunan jumlah trombosit (thrombocytopenia), peningkatan jumlah sitokin, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, dan perdarahan spontan sedangkan DSS berkembang ke arah syok hipovolemik.4,5,7 Pada kasus  DHF/DSS meningkat seiring  dengan  peningkatan jumlah virus, hampir 35-37% kasus infeksi Dengue memerlukan perawatan rumah sakit.4 Telah diketahui lebih dari 100 negara, virus Dengue merupakan faktor penyebab penyakit dan mengancam hampir 40% (2,5 miliar) seluruh penduduk dunia.6
Saat ini belum ada obat yang sesuai untuk penanganan demam berdarah Dengue selain terapi suportif. 4,5,7 Demam Dengue yang tidak dirawat dan mengalami komplikasi dapat mencapai angka kematian 50%. Berdasarkan data WHO, DSS/DHF adalah merupakan penyebab utama kematian anak-anak dibeberapa Negara Asia.4
                Kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia terjadi pada tahun 1968 dengan kejadian yang terus meningkat setiap tahunnya. Di tahun 2004 terjadi lebih dari 50.000 kasus, dengan kematian 603 orang. Berdasarkan uji klinis dan laboratoris melalui studi kohort pada 272 pasien di rawat di Rumah Sakit di Jakarta yang terpapar virus Dengue sebanyak180 orang (66,2 %). Berdasarkan gejala klinis dari 180 pasien, 100  (55,6%) orang  diklasifikasikan sebagai DF, 31 (17,2%)  DF disertai gejala perdarahan, 49(27,2%) DHF. Berdasarkan uji hemaglutinasi inhibisi 33 dari 40 pasien (82,5%) dengan kategori DHF merupakan infeksi sekunder, seluruh tipe Dengue teridentifikasi pada penderita dengan infeksi sekunder, terutama serotipe Virus Dengue (DEN)-3, diikuti oleh DEN-4, DEN-2, DEN-1.6 Di tahun 2007, hanya untuk kejadian di Amerika saja lebih dari 800.000 kasus demam Dengue yang tergolong memiliki gejala klinik ringan, dan lebih dari 25.000 merupakan kasus yang lebih berat, demam berdarah Dengue (DHF).1 
                        KLB telah dideklarasikan  di Cairns, berlokasi di Queensland Australia pada 1 Desember 2008, demikian pula pada 3 maret 2009 telah terdapat 503 kasus demam Dengue pada populasi penduduk153.137. KLB kemudian terjadi di Negara-negara dan kota-kota di sekitarnya  seperti  Townsville (5 Januari 2009), Port Douglas (6 Februari 2009), Yarrabah (19 Februari 2009), Injinoo (24 Februari 2009), Innisfail (27 Februari 2009) dan Rockhampton (10 Maret 2009).  Pada awal tahun 2009,  18 orang meninggal   dari 31.000 orang terinfeksi. Menteri kesehatan  Argentina  menyatakan KLB terjadi di  utara Provinsi  Chaco, Catamarca, Salta, Jujuy dan Corrientes, dengan kasus lebih dari 9.673 pada 11 april 2009.10
B.     Virus Dengue
Virus Dengue merupakan family flaviridae, genus flavivirus bersama dengan virus lain, seperti yellow fever virus (YFV), west nile virus (WNV), japanese encephalitis virus (JEV) dan tick borne encephalitis virus (TBEV).2,6 Dengue merupakan virus RNA,  yang penyebarannya melalui nyamuk terutama Aedes aegypti, selain itu dapat juga ditularkan oleh nyamuk  Aedes albopictusAedes polynesiensis dan beberapa spesies lain yang merupakan vektor yang kurang berperan.
Nyamuk Aedes aegypti  hidup di daerah tropis dan subtropis dengan suhu 28-32OC dan kelembaban yang tinggi serta tidak dapat hidup di ketinggian 1000 m. Vektor utama untuk arbovirus bersifat multiple bitter, antropofilik, dapat hidup di alam bebas, terbang siang hari (jam 08.00-10.00 dan 14.00-16.00), jarak terbang 100 m – 1 km, dan ditularkan oleh nyamuk betina yang terinfeksi.3,4  
Virus Dengue terdiri atas empat serotipe yang berbeda DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4, secara antigenik sangat mirip satu dengan lainnya, tetapi tidak dapat menghasilkan proteksi silang yang lengkap setelah terinfeksi oleh salah satu tipe keempat serotipe virus dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan dianggap yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat. Infeksi dari satu jenis serotipe atau lebih di daerah tropis dan subtropis terus meningkat seiring pertambahan penduduk, urbanisasi dan penyebaran vector utama yaitu nyamuk Aedes aegypti.

1.      Struktur gen Virus Dengue
Genom virus Dengue merupakan single-stranded positif-sense RNA dengan panjang genomnya sekitar 11 kb (kilobasa)/ dengan panjang 11.000 nukleotida yang terdiri dari open reading frame (ORF) yang mengkode poliprotein, yang diterjemahkan dalam cap-dependent manner di reticulum endoplasma kasar/ rough endoplasmic reticulum (rER). Dalam sel yang terinfeksi, poliprotein virus mengalami penguraian secara proteolitik  menjadi sekurangnya 11 protein. Struktur protein virus meliputi tiga protein struktural yaitu kapsid, membrane (M) atau precursor membrane (prM) dan envelope (E), yang dikode oleh 5′ pada 1/3 ORF dan non struktural protein (NS) terdiri dari NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B, and NS5,  yang dikode pada 2/3 ORF.2,8
Protein struktural, bersama dengan membran sel hospes, membentuk partikel virus. Protein nonstruktural berperan dalam banyak hal termasuk replikasi RNA virus, pembentukkan virion dan menghindar dari respon imun hospes. Dua protein nonstruktural memiliki aktifitas enzimatik. NS3 berfungsi sebagai protease (dengan NS2B sebagai kofaktor), nukleotida trifosfatase, 5’-RNA trifosfatase dan helicase. NS5 bertindak sebagai metiltransferase dan RNA-dependent RNA polymerase (RdRp) NS3 dan NS5 dua komponen  kunci untuk replikasi virus dan merupakan target untuk pengembangan antivirus.2
Amino  terminal  dari prM. E, NS1 dan NS4b  terbentuk pada pemecahan oleh sinyal peptidase reticulum endoplasma hospes di lumen retikulum endoplasma, dimana proses hampir semua protein non struktural dan C-terminal dari C protein terdiri dari dua komponen protease NS2b-NS3 di sitoplasma sel yang terinfeksi virus Dengue. Untuk pemecahan C terminal NS1  retikulum endoplasma peptidase diduga berperan dan protein golgi furin protease menghasilkan pemecahan prM di akhir infeksi untuk membentuk membran yang matang.
Replikasi RNA virus Dengue terjadi erat kaitannya dengan membran sel yang banyak bertindak sebagai pijakan pertama tahapan kompleks  replikasi virus/ replication complex (RC). NS5 diidentifikasi sebagai RNA-dependent RNA polymerase (RdRp) dan juga memiliki aktifitas  metiltransferase yang penting untuk pembentukkan struktur cap RNA. NS3 bertindak sebagai serin protease virus, yang membutuhkan adanya protein  NS2B sebagai kofaktor untuk aktifitasnya. NS3 juga  terdiri dari RNA trifosfatase seperti RNA helikase dengan aktifitas nukleosida trifosfatase.  NS1 dipercaya memiliki peranan penting dalam replikasi virus, yang paling memungkinkan adalah awal  untuk atau  menginisiasi minus-strand. Bagian yang belum diketahui adalah fungsi dari protein nonstruktural kecil  NS2A, NS4A and NS4B, yang diperkirakan mereka berperan sebagai penyaji tautan RC  virus ke membran intraseluler. Lebih jauh lagi mereka dianggap sebagai protein yang menghambat respon hospes terhadap interferon.12
Struktur genome virus  Dengue, pembentukkan poliprotein dan topologi membrane virus:
A) Skema genom single stranded RNA genome  dengan komponen struktur RNA pada 5' and 3' NTRs.
B) Genom virus Dengue dan fungsi protein virus, beberapa protein fungsinya dalam siklus hidup belum diketahui.
C) Topologi membrane virus Dengue, keterlibatan protein virus Dengue dan proteinase dalam pemecahan poliprotein.12
2.Replikasi Virus
Partikel virus Dengue berikatan dengan sel melalui interaksi antara glikoprotein permukaan  dengan satu atau lebih reseptor selular (s) yang sedikit sekali telah diketahui. Partikel dapat masuk ke dalam sel melalui Fc-receptor dengan opsonisasi.
Virion masuk diperantarai reseptor mediator endositosis menyebabkan pelepasan genom virus dari nukleocapsid dalam keadaan pH yang rendah. Segera setelah infeksi, protein virus menginduksi penyusunan kembali struktur membran intraseluler  membentuk struktur yang telah didesain berbentuk paket-paket gelembung dan membran yang kusut, tampaknya paket gelembung  pada tempat replikasi RNA, kemungkinan dikatalisasi oleh protein multikompleks yang dihasilkan oleh protein virus, membran sel dan juga protein selular.
RNA virus Dengue bereplikasi melalui utas negatif intermediet yang menyajikan templat untuk produksi dalam jumlah berlebih progenitor utas positif. Partikel virus diperkirakan dibentuk dengan budding ke retikulum endoplasma dan ditanspor melalui jalur sekretori sel hospes.
Dalam siklus replikasi virus Dengue, virus memasuki sel dimediasi oleh reseptor endositosis dan setelah RNA virus terbuka di terjemahkan di retikulum endoplasma kasar tempat replikasi RNA. Protein virus menginduksi  perubahan membran sehingga bertindak sebagai penyaji  tempat replikasi RNA.  Partikel virus terbentuk melalui budding pada membrane retikulum endoplasma dan partikel disekresi melalui jalur sekretori.13
3.      Infeksi Dengue
Virus Dengue ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegypti. Nyamuk biasanya mendapatkan virus infektif ketika mengambil makanan dengan menghisap darah seseorang yang terinfeksi. Setelah inkubasi virus selama 10 hari dalam tubuh nyamuk, melalui proboscis nyamuk dapat ditularkan kepada orang lain ketika pengambilan makanan melalui penghisapan darah, dan kemudian terus menyebarkan  virus tersebut sepanjang hidupnya. Nyamuk betina yang terinfeksi dapat juga menyebarkan virus melalui keturunan melalui telur (transovarial transmission), tetapi peranan sistem penularan virus ke manusia seperti ini belum jelas.3 Virus Dengue ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis. Penularannya dapat langsung, yaitu melalui gigitan pada orang yang sedang mengalami viremia, maupun secara tidak langsung setelah melalui inkubasi dalam tubuhnya, yakni selama 8-10 hari (extrinsic incubation period). Pada anak diperlukan waktu 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menjadi sakit setelah virus masuk ke dalam tubuh. Pada nyamuk, sekali virus dapat masuk dan berkembaang biak dalam tubuhnya, maka nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Sedangkan pada manusia, penularan hanya dapat terjadi pada saat tubuh dalam keadaan viremia yaitu antara 5- 7 hari.17
Meskipun Dengue merupakan penyakit  virus yang telah menyebar secara luas, tidak banyak penelitian yang mengarah kepada hubungan antara virus Dengue dengan vektornya. Keberhasilan penularan virus Dengue dipengaruhi oleh virulensi, imunitas hospes dan kepekaan nyamuk terhadap infeksi virus Dengue. Tahap awal dari infeksi pada nyamuk oleh virus tergantung interaksi virus dengan reseptor yang ada pada membran sel perut nyamuk. Endositosis virus oleh nyamuk merupakan tahapan penting dalam penentuan sel yang kemungkinan bisa terinfeksi. Populasi Aedes aegypti yang berbeda menunjukkan perbedaan kepekaan terhadap infeksi oleh virus. Karena rongga perut nyamuk merupakan barier untuk infeksi, menurut penelitian Mercado-Curiel et al, terdapat tiga strain Aedes aegypti yang berbeda berdasarkan kepekaan rongga perut terhadap infeksi virus. Dua strain yang peka terhadap infeksi virus yaitu DS3 dan DMEB sedangkan strain yang resisten adalah strain yang kebal IBO-11.16

a.      Karakteristik Demam Dengue

Demam Dengue adalah penyakit menyerupai flu  berat yang dapat menyerang bayi, anak-anak dan dewasa, tetapi jarang berakibat kematian. Tanda-tanda klinis dari demam Dengue bervariasi tergantung usia dari penderita. Bayi dan anak-anak kemungkian menunjukkan gejala demam dengan bercak kemerahan. Anak yang lebih besar, kemungkinan terjadi gejala demam tinggi  dan kelemahan dengan tiba-tiba, sakit kepala berat, sakit pada belakang mata, sakit otot dan sendi dan bercak kemerahan.
      Demam  infeksi arbovirus lainnya yang menyerupai demam Dengue yaitu demam chikungunya, keduanya ditularkan oleh nyamuk Aedes, tapi untuk chikungunya oleh nyamuk Aedes albopictus. Chikungunya ditandai demam, bercak merah, mialgia akan tetapi tidak fatal seperti demam Dengue yang bisa mengarah ke demam berdarah dan berakibat kematian. Saat ini pemeriksaan Dengue dan chikungunya didiagnosis dengan mendeteksi antibodi dalam serum pasien. Pemeriksaan terbaru dengan teknik molekular yang mendeteksi materi genetik virus yang keduanya merupakan virus RNA, berdasar penelitian Dash dan kolega menunjukkan amplifikasi PCR virus Dengue dan Chikungunya dapat dilakukan bersama-sama dalam satu tabung. Dalam waktu reaksi  PCR selama 4 jam, dengan disertai kedua  primer, yang spesifik untuk Dengue dan Chikungunya, kemajuan teknik ini memungkinkan  mendeteksi seseorang yang terinfeksi keduanya.
Demam Berdarah Dengue adalah komplikasi yang berakibat fatal yang ditandai dengan demam tinggi, biasanya disertai pembesaran organ hati, dan terjadi   kegagalan  pada sistem sirkulasi darah. Biasanya ditandai dengan peningkatan suhu secara  tiba-tiba disertai dengan wajah yang kemerah-merahan dan gejala seperti sakit flu. Demam biasanya berlanjut selama dua sampai tujuh hari dan dapat meningkat sampai 41C, kemungkinan juga disertai  dengan renjatan dan komplikasi lainnya. Pada kasus DBD sedang. Semua tanda-tanda dan gejala akan reda setelah  demam turun. Dalam kasus yang berat,  kondisi pasien dapat secara tiba-tiba menurun dengan cepat dan masuk ke dalam keadaan syok dan meninggal dalam 12-24 jam, atau terjadi penyembuhan cepat setelah melalui perawatan medis yang sesuai.3
Dengue Shock Syndrome (DSS) didefinisikan sebagai demam dengan  timbulnya perdarahan, trombositopenia, hemokonsentrasi atau tanda-tanda kebocoran plasma lainnya. Infeksi Dengue berat ditandai oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah, peningkatan jumlah leukosit, peningkatan nilai hematokrit, dan variasi derajat perdarahan. Kebocoran plasma yang meluas pada berbagai  rongga serosa dalam tubuh akan menghasilkan  syok yang sangat dalam. Hemoragik ketika  terjadi akan menyebabkan hipotensi.16
Diagnosis klinis  demam berdarah (WHO,1997):
a.       Demam mendadak tinggi
b.      Perdarahan (termasuk uji bendung), seperti epistaksis, hematemesis, hepatomegali.
c.       Syok : nadi kecil dan cepat, tekanan nadi <20 atau="" disertai="" gelisah="" hipotensi="">
Beratnya penyakit demam Dengue  dibagi ke dalam empat derajat yaitu :
a.       Derajat I : demam dengan uji bendung positif
b.      Derajat II : derajat 1 ditambah perdarahan spontan.
c.       Derajat III : nadi cepat dan lemah, tekanan nadi < 20 mm Hg akral dingin.
d.      Derajat IV : syok berat, nadi tak teraba, tekanan darah tak teratur

Pemeriksaan laboratorium ditandai dengan Trombositopenia (< 100.000/ul), Hemokonsentrasi (kadar Ht lebih 20% dari normal), Untuk pemeriksaan positif dan negatif penderita DHF dapat digunakan Dengue blot kit Ig G dan Ig M. Pada pemeriksaan radiologis didapatkan efusi pleura, terutama di rontgen dapat hemitorak kanan tetapi apabila hebat dapat dijumpai pada kedua hemitorak. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dilakukan dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur di sisi kanan). Ascites  dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.17
b.      Patogenitas infeksi Dengue
Virus Dengue umumnya menyebabkan demam ringan, demam Dengue (Dengue fever/DF) dan kadangkala menuju ke arah  penyakit yang lebih parah demam berdarah Dengue  dan Dengue shock syndrome (DHF/DSS). Masih merupakan kontroversi mengenai patogenitas DHF/DSS, peneliti pada umumnya mengemukakan parahnya penyakit berkaitan dengan meningkatnya replikasi  virus. Tempat utama virus bereplikasi setelah manusia terinjeksi melalui gigitan nyamuk, adalah monosit fagositik. Virus Dengue bereplikasi dan titer yang tinggi pada sel mononuklear manusia, terutama dengan adanya reaksi antibodi non netralisasi Dengue.  Fenomena seperti ini dikenal dengan  antibody-dependent enhancement (ADE) dari infeksi virus, hal ini kemungkinan disebabkan oleh komplek virion yang infeksius, virion dan antibodi menambah akses ke sel monosit melalui reseptor Fcγ.  Menjadi sebuah hipotesis bahwa  DHF/DSS dapat dipicu oleh replikasi  virus dan proses imunopatologi yang disebabkan oleh disfungsi monosit dan  gangguan reaksi yang disebabkan oleh sel-T limfosit yang teraktivasi.8
 Angka kematian Dengue dapat meningkat sampai 40-50% pada pasien yang tidak dirawat. Pasien yang mendapatkan infeksi untuk pertama kalinya (infeksi primer) biasanya tidak menunjukkan gejala dan akan menimbulkan imunitas terhadap strain yang sama, 90% kasus DHF/DSS  berasal dari paparan kedua (infeksi sekunder). Pasien dengan infeksi sekunder heterotipe sekurangnya 40 sampai 80 kali berkembang ke arah DHF/DSS dibandingkan pasien infeksi primer.4
Mekanisme berkembangnya demam Dengue menjadi DHF/DSS dapat dijelaskan berdasarkan interaksi tiga komponen penting terhadap peningkatan respon imun:
Komponen pertama yaitu kesalahan pengaturan respon imun yang dimediasi oleh sel. Dalam hal ini terjadi reaksi silang  antara sel B dan sel T dimulai ketika virus Dengue menginfeksi sel dendritik, akan menyebabkan sel T teraktifasi secara membabi buta, sel T yang teraktifasi selama infeksi Dengue akan berfloriferasi dan  terjadi reaksi silang  fungsi  efektor, yaitu dengan produksi sitokin dalam jumlah yang banyak yang akan terlihat meningkat terutama pada kasus DHF/DSS.
Komponen kedua adalah Antibody Dependent Enhancment (ADE). Antibodi heterolog non-netralisasi akan mengenali epitop Dengue dan meningkatkan infektifitas pada Fc-dependent. Kemudian  antibodi akan mengakibatkan penyakit  autoimun  yang akan menyebabkan peningkatan kebocoran plasma dan produksi sitokin.
Komponen yang ketiga adalah aktifitas komplemen, dengan banyaknya produksi sitokin yang menandai DHF/DSS   diatur oleh protein komplemen dan berhubungan dengan anafilatoksin. Ketiga komponen tersebut saling berinteraksi dan saling menekan satu sama lain  yang merupakan situasi yang mengancam penyebab kematian pada infeksi Dengue.4
1)      Antibody Dependent Enhancment (ADE)
Antibody Dependent Enhancment (ADE) adalah mekanisme sistem imun yang dapat meningkatkan patogenesis virus. Ketika seekor monyet secara pasif diimunisasi sebelumnya ketika terinfeksi virus Dengue mereka memiliki 15 kali titer virus lebih tinggi dibandingkan  dengan monyet-monyet yang tidak diberi suplemen IgG. Demikian pula dengan bayi baru lahir yang mendapatkan kekebalan dari ibunya akan meningkatkan risiko untuk DHF/DSS. Hipotesis mengenai antibodi yang meningkatkan infeksi virus adalah kemungkinan disebabkan oleh antibodi non netralisasi yang membiarkan virion aktif masuk ke dalam sel.  Reseptor Fc (FcR) merupakan komponen kunci dalam model pathogenesis ADE. FcR ditemukan hampir pada semua sel fagosit termasuk sel dendritik dan makrofag. Fungsi FcR sebagai komplek multisubunit yang sifatnya melekat pada IgG dan membentuk rantai alpha sebagai daerah pengenalan antigen,  immunoreceptor tyrosine based activation motif (ITAM) dan  rantai gamma yang berperan dalam transduksi sinyal. IgM tidak langsung berperan dalam ADE tapi berperan dalam aktivasi reseptor komplemen, antibody IgM dapat dicegah dengan memblok  reseptor C3. Berdasar hipotesis , mediator IgG dan IgM terhadap peningkatan infeksi virus  yang disebabkan ADE dipengaruhi oleh banyak variabel. Jalur signaling FcR pada umumnya memulai aktivasi  sel imun, dengan demikian FcR memodulasi sistem imun. Pada keadaan normal interaksi virus dengan antibodi akan menimbulkan netralisasi, akan tetapi pada infeksi virus yang berbeda tipe,  antibodi bersifat  non netralisasi  dan meningkatkan infeksi.
Cell line yang mengekspresikan FcgRIA atau FcgRIIA telah digunakan untuk menunjukkan  bahwa komplek imun dapat meningkatkan infeksi virus sehubungan dengan mediator FcR. FcgRIA hanya ditemukan di sel makrofag dan sel dendritik dan lebih menyukai berikatan dengan IgG monomer, sedangkan FcgRIIA lebih tersebar dan lebih menyukai berikatan dengan komplek imun, ketika bertemu dengan ikatan imun kompleks yang mengandung virus, kedua Cell line memperlihatkan peningkatan infeksi, bagaimanapun, ketika kapasitas signaling FcR dirusak, fagositosis menurun akan tetapi peningkatan infeksi tidak mempengaruhi FcgRIIA. Pada FcgRIIA cell line, baik fagositosis dan peningkatan infeksi karena imun dapat diturunkan dengan dirusaknya sel signaling, hal ini menandakan bahwa  peningkatan imun dipengaruhi oleh lebih dari satu mekanisme.4
2)      Sel dendritik
Reseptor pada sel dendritik sebagai sel target virus Dengue yang diduga  menginisiasi virus adalah dendtitic cell-spesific intracellular adhesion molecule-3 (ICAM3)-grabbing non integrin (DC-SIGN)/CD209. Sel dendritik merupakan sel yang berperan dalam melawan infeksi virus karena kemampuannya untuk mendapatkan  virus dan menyajikan antigen virus yang akan dihadapkan ke sistem imun. Sel dendritik mempengaruhi virus Dengue dengan dua jalan. Sel dendritik imatur mengekspresikan dalam jumlah banyak DC-SIGN yang memfasilitasi permulaan pengikatan dan masuknya virus. Sementara itu sel dendritik matang tidak memiliki DC-SIGN dalam jumlah banyak, mereka memfasilitasi ADE melalui reseptor FcgIIa dan FcgIIb. Efek ini paling terlihat sangat jelas pada pengenceran serum 1:640 sampai 1:2.560 dengan netralisasi lengkap pada 1:10. ADE pada sel dendritik dapat meningkatkan produksi RNA virus lebih dari 100 kali, hal ini membuat sel dendritik merupakan sel yang berperan dalam pathogenesis Dengue. Sel dendritik yang terinfeksi juga berperan dalam kebocoran plasma melalui produksi matrik metalloproteinase (MMPs). MMP-2, MMP-13 dan MMP-9 sangat meningkat tajam pada sel dendritik imatur yang terinfeksi oleh virus Dengue tipe 2.
                DC-SIGN memiliki afinitas tinggi terhadap molekul ICAM3 yang terekspresi pada sel T, untuk menjadi teraktivasi, sel T mengalami proses yang lama dan melalui banyak fase dan membutuhkan waktu sekitar 6-24 jam. Molekul adesi seperti ICAM1 dan ICAM3 adalah molekul yang paling banyak terbentuk selama fase aktivasi sel T dan dapat berikatan dengan molekul adesi sel dendritik yang diketahui sebagai sel target virus Dengue terutama melalui DC-SIGN, molekul ini penting untuk membentuk sinaps yang stabil antara sel dendritik dan sel T.4
Dendritik sel imatur dapat terpolarisasi menjadi tipe 1, tipe 2 dan tipe pengaturan patogen berhubungan dengan pola molekular (pathogen associated molecular patterns / PAMPs) atau faktor jaringan ( tissue factors / TFs)  untuk pematangan  dan menjadi sel dendritik matang sebagai efektor yang memulai perkembangan sel T menjadi Th1, Th2 atau pengaturan adaptif (TReg) dari Th. Suatu pengecualian apabila ada patogen tertentu dapat menghambat pematangan sel dendritik, menghasilkan pengaturan dendritik sel imatur. Sel dendritik terpolarisasi oleh faktor jaringan dapat dihasilkan oleh bermacam-macam sel jaringan dan sel imun, termasuk sel epitel,  natural killer (NK) cells, mast cells, makrofag, fibroblast dan lainnya. Sel-sel ini akan menghasilkan tipe 1, tipe 2 atau TFs tergantung asalnya atau jalan mereka teraktivasi. Sel epitel kulit, sebagai contoh, menghasilkan tipe 1, interferons (IFNs) dan  interleukin-18 (IL-18)  sebagai respon terhadap  double-stranded RNA dan  thymic stromal lymphopoietin (TSLP)  pada keadaan dermatitis akut atipik.  Sebaliknya iris dan epitel pigmen retina menghasilkan  transforming-growth factor- (TGF- ).
3)      Sel T limfosit
                Sel T yang telah teraktivasi selanjutnya akan memicu pematangan dengan mengekspresikan CD40L, stimulasi berikutnya oleh sitokin seperti TNF-a, IFN-g, IL-6 yang akan memicu dengan cepat pematangan dan sensitifitas sel dendritik. Sebaliknya simulasi sel dendritik dengan IL-10 dan sitokin anti inflamasi lainnya memicu pengaturan fenotip dendritik sel. Pengaturan sel dendritik dapat melemahkan sistem imun dan memicu daya tahan seperti pada pengaturan sel T.  Sel dendritik  juga dapat mengaktivasi sel B melalui co-stimulasi CD40, IL-6 dan IL-12. Yang paling penting  dari interaksi sel dendritik ada di dua tempat : pematangan sel dendritik dan sinaps sel T. Keduanya merupakan hal yang potensial untuk menekan sistem imun  terhadap infeksi Dengue. Apabila sel dendritik gagal mengalami maturasi sempurna, bukan hanya tidak dapat menstimulasi sel T akan tetapi mereka dapat meningkatkan daya tahan. Interaksi sel dendritik dan sel T merupakan koordinat yang penting, gangguan terhadap sinaps ini dapat memicu pathogenesis Dengue. Sel T memori spesifik Dengue secara simultan terus berploriferasi dan apoptosis selama infeksi heterotipe, hasilnya, bahwa sel T memiliki respon kurang efisien dan kurang spesifik. Mekanisme yang belum jelas antara sel dendritik dan sel T potensial untuk dilakukan penelitian.4
Respon sel T terhadap virus Dengue
Kesalahan pengaturan sel T  terhadap infeksi kedua dari tipe virus  yang berbeda dapat menyebabkan reaksi silang, afinitas sel T yang rendah. Aktifasi dari efektor sel T dan sekresi sitokin ditetapkan sebagai kunci dari perkembangan penyakit yang berhubungan dengan infeksi virus. 4
                Ichiro kurane at al telah menganalisa respon sel T limfosit terhadap antigen secara in vitro untuk menjelaskan kemungkinan keterlibatan limfosit T dalam patogenitas dari komplikasi infeksi Dengue. Antigen  Dengue menginduksi respon proliferasi dari PMBC dari pasien donor yang positif  antibody terhadap Dengue, tetapi  tidak menginduksi respon ploriferasi spesifik dari PMBC donor yang tidak mengandung antibody terhadap Dengue, IFN-g  terdeteksi pada  cairan kultur  dari PMBC yang distimulasi dengan antigen Dengue dan sel yang berploriferasi memiliki  fenotip CD3+, CD4+, CD8-, CD16- dan CD20-. Cell line spesifik sel T Dengue yang diperoleh dari pengenceran minimal memiliki fenotip CD3+, CD4+, CD8- dan menghasilkan IFN-g   sebagai respon terhadap antigen Dengue. Cairan kultur dari PMBC yang mengandung antibodi distimulasi dengan antigen Dengue mengandung IFN-g  yang menambah infeksi virus Dengue ke sel monosit dengan kompleks Dengue-antibodi. Hal ini menunjukkan PMBC donor berantibodi , sel T yang berploriferasi mengandung CD4+  dan memproduksi IFN-g   setelah distimulasi oleh antigen Dengue, hal itu membuktikan bahwa  produksi IFN-g   oleh sel T yang distimulasi oleh Dengue berperan dalam patogenitas DHF/DSS melalui peningkatan jumlah monosit yang terinfeksi Dengue dan menyebabkan reaksi silang antigen antibodi dan mengaktivasi makrofag untuk mengeluarkan bahan  vasoaktif.15
                Telah dilakukan penelitian pada empat pasien  di Vietnam, India, Cuba dan Brazil semuanya menunjukkan peningkatan  sitokin IFN-g  , TNF-a, IL-10, IL-1, IL-6, IL-8 dan MCP1. Pada studi in vitro, IFN-g  , IL-6, TNF-a dan RANTES (Regulated upon Activation Normal T cell Express and presumably secreted) juga merupakan hal yang penting dalam pathogenesis Dengue. Ada 15 macam sitokin yang dimodulasi oleh penyakit ini. Sitokin ini berkaitan dengan keterlibatan sel T limfosit. Khususnya IFN-g  dan TNF-a sangat kuat hubungannya dengan beratnya penyakit dan sangat berkaitan dengan aktivasi sel T. peningkatan jumlah sitokin merupakan petanda aktivasi sel T, CD69, CD38 dan CCR7 meningkat pada infeksi Dengue dan peningkatan IFN-g   oleh sel T spesifik akan meningkatkan jumlah  reseptor Fcg, dimana resepytor ini  berperan dalam ADE.4
                        CD8+ peranannya dalam membantu dalam pengaturan infeksi virus dini, tapi proliferasi CD8+ yang terus menerus dapat berakibat pada Dengue pathogenesis. CD4+ selama fase infeksi primer pada mencit rendah, akan tetapi pada infeksi sekunder terjadi peningkatan, hal ini menandakan terjadi peningkatan respon CD4+.4
4)      Respon imun terhadap infeksi primer dan sekunder Dengue

Infeksi primer :
Merupakan kekebalan jangka panjang namun hanya pada serotype yang menginfeksi.
a.       IgM
-          Diproduksi 5 hari setelah gejala timbul
-          Meningkat 1-3 minggu dan tetap ada selama 30-60 hari (atau sampai 90 hari)
b.      IgG
-          Timbul sekitar 14 hari setelah onset gejala dan tetap ada seumur hidup.

Infeksi sekunder
IgM tidak terbentuk sampai 20 hari setelah onset penyakit, IgG meningkat dengan cepat  pada hari ke 1-2 setelah gejala timbul, bertahan pada konsentrasi tinggi selama 30-40 hari, kemudian menurun.
5)      Penyakit Autoimun
Dengan adanya ADE dan gangguan pada sel T, penyakit autoimun penting dalam pathogenesis Dengue. Antibodi anti NS1 telah dikembangkan  dan menunjukkan afinitas terhadap  fibrinogen, trombosit dan sel endotel. NS1 merupakan glikoprotein yang disekresikan oleh sel yang terinfeksi, terutama terdapat dalam supernatan serum pasien, tetapi tidak ada dalam virus. NS1 diketahui sebagai  imun target  utama,  konsentrasi tinggi ditemukan pada pasien berat. Ketika sel terkena antibodi NS1 sel akan mengalami apoptosis intrinsic, yang ditandai dengan fragmentasi DNA dan pelepasan pospatidilserin. Bcl-2, Bcl-x menurun sedangkan P53, Bax dan sitokrom c meningkat tergantung dengan adanya iNOS. Apoptosis merupakan  respon terhadap antibodi NS1 dapat diatasi dengan dihambat oleh iNOS inhibitor. Antibodi memori akan menyebabkan reaksi inflamasi bersama antibodi anti-NS1 menstimulasi pelepasan IL-6, IL-8 dan MCP-1 tergantung pada NFkB.  Yang berkaitan dengan pengikatan antibodi adalah peningkatan ICAM1, yang dapat memfasilitasi pelekatan PMBC ke  sel endotel. Baik penghambatan  NFkB atau penghambatan  antibodi NS1 terlarut dapat menghambat pelepasan sitokin in vitro. Dengan menggunakan Flow cytometry ELISA, dapat diamati bahwa NS1 berikatan dengan sel yang tidak terinfeksi.  Pengikatan NS1  juga  biasa ditemukan pada heparan sulfat dan kondroitin sulfat E.  Pada percobaan mencit,  jaringan dengan protein ini jumlah lebih besar sangat peka untuk interaksi ini dan NS1 dapat  ditemukan terikat pada sel paru dan hati, tetapi tidak pada sel intestinal atau endotel otak mencit. Ada hubungan  yang sangat kuat antara konsentrasi NS1 pada serum pasien dengan konsentrasi tinggi anafilatoksin yang menandakan NS1 erat kaitannya dengan peranannya dalam aktivasi komplemen. Selanjutnya anafilatoksin akan berada di paru-paru dan plasma pasien dengan infeksi Dengue. Supernatan  yang dikumpulkan dari sel yang terinfeksi dengue dan dicampur dengan serum normal menunjukkan terjadi aktivasi komplemen yang dipengaruhi oleh jumlah NS1. Ketika supernatan dicampur dengan antibodi yang dimurnikan dari serum convalescent  ditemukan hasil yang sama, NS1 mengaktivasi komplemen  dan aktivasi komplemen diiringi oleh antibodi anti Dengue. Terdapat hubungan yang kuat  antara konsentrasi NS1 dengan pembentukkan komplek C5b-C9.4
6)      Aktivasi komplemen oleh protein Dengue dan antibody
Komplemen merupakan jalur mekanisme pertahanan yang didesain kapasitasnya  sebagai penjaga dan menjalankan fungsinya sebagai efektor. Ada tiga jalur aktivasi komplemen:
Jalur klasik adalah dimulai dengan pembentukkan komplek antibodi-C1q pada permukaan patogen atau sel yang terinfeksi patogen. Komplek ini akan mengaktivasi C2 melalui serin protease dan kompleks itu sendiri juga dapat berperan sebagai serin protease. Protein C2a bersama  protein C4a membentuk C3 konvertase C2aC4b. C3b membentuk komplek protein sentral dari sistem komplemen dan juga dengan cara berikatan dengan reseptor komplemen atau dengan membentuk komplek dengan C2aC4b untuk membentuk C5 konvertase C2aC4bC3b.  Komplek  ini dapat berikatan dan C5a yang stabil yang membentuk fungsi sentral efektor dari seputar sistem komplemen dengan protein C5-C9 akan berikatan dan bekerjasama melisiskan sel.
                Jalur ikatan manosa memiliki alur yang sama dengan jalur klasik tapi fungsinya secara bebas dalam pembentukkan antibodi, walaupun MASP1 dan MASP2 terikat pada manosa berikatan dengan struktur manosa biasanya ditemukan pada patogen. Komplek manan-lektin sangat homolog dengan C1q dan dapat mengaktivasi C2 dan C4. Pada sel somatik normal  yang bebas adanya gula asam sialat dan jarang berada dalam patogen  C1q memulai tahapan  lisis.
                Jalur aktivasi komplemen dimulai dengan aktivasi spontan protein komplemen. Pada jalur ini ikatan tioester pada C3 melalui hidrolisis yang memungkinkan pengikatan factor B dan turunannya dipecah oleh protease plasma factor D. C3b dan factor Bb membentuk C5 konvertase. Jalannya jalur aktivasi komplemen dicegah oleh ikatan reseptor komplemen (CR) dengan membran aktif decay accelerating factor (DAF, atau CD55) yang dapat mencegah turunan  komplemen. Pada pasien Dengue berat, jumlah C3a yang banyak menampakkan  peranan komplemen dalam pathogenesis Dengue. C3a merupakan salah satu dari beberapa anafilatoksin yang dihasilkan oleh aktivasi   komplemen yang memungkinkan terjadinya gangguan pembuluh darah. C3a bertindak sebagai kemotaktik yang  menarik monosit, makrofag dan sel dendritik,  mengatur vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler dan kontraksi otot polos. Pada makrofag, eosinofil dan netrofil anafilatoksin dapat merangsang ledakan oksidatif, basofil dan mast cell yang melepaskan histamine dan C3a dapat meningkatkan efek dari antiinflamasi yang lain yaitu sitokin seperti TNF-a, IL-6 dan SDF1. Reseptor C3a akan memicu pelepasan sitokin melalui posporilasi seperti pada aktifase  MAP kinase. C3aR terekpresi oleh mediator-mediator sistem imun seperti  netrofil, basofil, eosinofil, mast cell, monosit/makrofag, sel dendritik, microglia seperti juga sel-sel non mieloid seperti astrosit, sel epitel, sel otot polos dan sel T teraktivasi (tetapi tidak pada sel T yang tidak teraktivasi).
7)      Anafilatoksin
Ketika sekresi TNF-a dan rekrutmen sel imun hampir mengalami kerusakan, efek anafilatoksin (AT) dapat sangat banyak . C3a dan C5a mengatur vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan dapat memicu degranulasi dan oksidasi dari netrofil, eosinofil dan basofil. C3a dan C5a bertindak sebagai reseptor spesifik untuk menghasilkan respon inflamasi lokal dan ketika sekresi pada konsentrasi yang cukup tinggi untuk  meminta respon sistemik umum, akan menyebabkan sirkulasi kolaps. AT memodulasi sekresi IL-6 dan TNF-a dari sel B dan bertindak sebagai kemoatraktan. C5a juga bekerja langsung pada netrofil dan monosit unuk meningkatkan molekul adesi, migrasi dan fagositosis. Beberapa sumber utama C3 adalah APC seperti makrofag dan sel dendritik. Mengikuti stimulasi antigenik baik sel dendritik atau sel T merangsang reseptor C3a dan C5a menghasilkan C3, komplemen alternative factor B dan D dan menurunkan C55. Penurunan C55 akan memicu proliferasi sel T dan ekspesi sitokin sel Th1, yang akan menambah produksi C3. APC yang melepaskan C3 dimulai dengan autokrin dan parakrin C3R signaling. C3R signaling akan menimbulkan MHC kelas II terekspresi, menstimulasi sekresi IL-12 dan B7. Anafilatoksin diketahui sebagai inisiator inflamasi memegang peranan yang penting dalam pengaturan interaksi APC-sel T. yang terpenting dalam patogenitas Dengue adalah  terletak pada kesalahan pengaturan proses imun dan komplemen, anafilatoksin menjadi teraktifasi oleh sel dendritik yang dimasuki antigen dan terpresentasikan, reaksi silang antibodi, peningkatan reseptor komplemen, dan C protein yang sangat membahayakan pasien terinfeksi Dengue.4
4.      Diagnosis infeksi Dengue
Diagnosis yang sensitif dan spesifik untuk infeksi Dengue  dapat  membantu penanganan pasien, diagnosis dini  pada kasus Dengue dengan mendeteksi protein virus, NS1 diperkenalkan sebagai pendekatan yang baru dalam diagnosis Dengue. NS1 adalah glikoprotein 55kDa disekresikan oleh sel yang terinfeksi virus Dengue (DENV) in vitro dan in vivo.  NS1 dapat mengaktivasi komplemen yang akan memicu kerusakan sel endotel dan kebocoran pembuluh kapiler. Uji yang telah tersedia  dengan ELISA untuk mendeteksi protein NS1 DENV pada plasma akut, merupakan alat diagnostik untuk mengarah ke pendekatan PCR. Berdasarkan penelitian Vu Ty Hang, pemeriksaan NS1 ELISA sensitif pada  pemeriksaan infeksi primer  dibandingkan infeksi sekunder, hasil positif pada NS1 menunjukkan viremia yang signifikan, sedangkan hasil negatif berhubungan dengan lamanya penyakit, karena NS1 sudah kurang sensitif untuk lama sakit yang lebih dari 3 hari.5
Metode pemeriksaan yang dapat  menentukan  jumlah virus secara kuantitatif, metode imunoasay dapat digunakan  sebagai alternatif untuk memonitor secara semikuantitatif replikasi virus pada sel kultur. Adanya protein NS1  dievaluasi dari supernatan dari sel Vero dan  sel C6/36 HT yang diinfeksi dengan virus Dengue. Jumlah NS1 yang terdeteksi pada supernatan sel terinfeksi sebanding dengan minimum of infection (MOI) awal yang digunakan dan terhadap waktu pemanenan post infeksi . imunoasay ini juga dapat mendeteksi adanya NS1 di supernatan yang menginfeksi makrofag. Hambatan terhadap replikasi virus Dengue pada C6/36 HT ditangani dengan obat lisomotropik yang siap diamati bersama teknik pemeriksaan. Hal ini memungkinkan uji semikuantitatif imunoasay dapat digunakan sebagai metode yang cepat dan mewakili uji kuantitaitif terhadap replikasi virus pada sel kultur.

Daftar Pustaka
1.       Juan E Ludert, Clemente Mosso, Ivonne Caballos-Olvera, Rosa M del Angel. Use of commercial enzyme immunoassays to monitor Dengue virus replication in cultured cells,Virology Journal,2008
2.       Zheng Yin, Yen-Liang Chen, Wouter Schul, Qing-Yin Wang, Feng Gu, Jeyaraj Duraiswamy, et al.An Adenosin nucleoside inhibitor of Dengue virus,2009
3.       J.J.H Chu, Priscilla L. Yang, c-Src protein kinase inhibitor block assembly and maturation of Dengue virus, 2007.
4.       David G Nielsen, The relationship of interacting immunological components in Dengue pathogenesis, Virology Journal Review, 2009.
5.       Vu Ty Hang, Nguyen Minh Nguyet, Dinh the Trung, Vianney Tricou, Sutee Yoksan, Nguyen Minh Dung, et al. Diagnostic Accuracy of NS1 ELISA and Lateral Flow Rapid Test for Dengue sensitivity, specificity and relationship to viremia and antibody respons, 2009.
6.       Agus Suwandono, Herman Kosasih, Nurhayati, Rita Kusriastuti, Syarial Harun, Chairin Ma’roef, et al. Four Dengue virus serotipes found circulating during an outbreak of Dengue fever and Dengue haemorraghic fever in Jakarta, Indonesia during 2004, Elsevier , 2006
7.       Daniele G Souza, Caio T Fagundes, Lirlandia P Souza, Flavio A Amaral, Rafael S Souza,  Erna G Kroon, et al. Essential role of platelet-activating factor receptor in the pathogenesis of Dengue virus infection, 2009
8.       Yi-Ling Lin, Ching-Len Liao,  Li-Kuang Chen,  Chia-Tsui Yeh, Chiu-I Liu, Shiou-Hwa Ma, at al. Study of Dengue Virus Infection in SCID Mice Engrafted with Human K562 Cells. J Virol. 1998 December; 72(12): 9729–9737.
10.   http://en.wikipedia.org/wiki/Dengue_fever
11.   http://www.lookfordiagnosis.com/mesh_info.php?term=Dengue+Virus&lang=1
12.   http://www.klinikum.uni-heidelberg.de/1-Genome-Organization-Viral-Protein-Expression.104949.0.html
14.   Dash PK, Parida M, Santhosh SR, Saxena P, Srivastava A, Neeraja M, at al.. Development and evaluation of a 1-step duplex reverse transcription polymerase chain reaction for differential diagnosis of chikungunya and Dengue infection. Diagn Microbiol Infect Dis. 2008
15.   Ichiro Kurane, Bruce LK Innis, Ananda Nisalak, Charles hoke, Suchitra Nimmannitya, Anthony Meager, at al. Human T cell respons to dengue Virus antigen
16.   Mercado-Curiel RF, Black WC 4th, Muñoz Mde L (2008). A Dengue receptor as possible genetic marker of vector competence in Aedes aegypti. BMC Microbiol. 15;8:118.
17.   Harli Novriani, Respon imun dan derajat kesakitan Demam Berdarah Dengue dan Dengue Shock Syndrome, Tinjauan kepustakaan P3M. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI, Jakarta, CDK 134,2002.
18.   http://www.panama-guide.com/article.php/2006030616243927
19.   http://expasy.org/viralzone/all_by_species/43.html
21.   Martien L. Kapsenberg, Dendritic-cell control of pathogen-driven T-cell polarization. Nature Reviews Immunology 3, 984-993 (December 2003): http://www.nature.com/nri/journal/v3/n12/fig_tab/nri1246_F2.html
22.   http://denguemu.wordpress.com/pathogenesis/