Pendahuluan
Dengue merupakan
penyakit virus asal arthropoda yang paling penting di daerah tropis dan
subtropis di dunia dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di
Amerika, Asia dan Afrika.1.2.3 Infeksi
Dengue merupakan masalah kesehatan internasional, badan kesehatan dunia The World Health Organization (WHO) memperkirakan
sekitar 2,5 miliar penduduk dunia berisiko terinfeksi dengan kejadian
infeksi 50 sampai 100 juta kasus setiap tahunnya.2,4
Dengue ditemukan
di daerah tropis dan subtropis terutama diperkotaan dan pinggiran kota. Demam
Berdarah Dengue, berpotensi terjadi komplikasi yang mematikan, dikenal pertama
kali pada tahun 1950 pada kejadian epidemik di Thailand dan Philipina. Dewasa
ini Demam Berdarah Dengue merupakan penyebab utama kasus perawatan rumah sakit
dan kematian khususnya pada anak-anak. Proses penyembuhan dari infeksi oleh
salah satu tipe virus akan menimbulkan kekebalan seumur hidup, akan tetapi
tidak bersifat protektif terhadap ketiga tipe virus lainnya. Telah
terdapat banyak bukti yang menyatakan
bahwa infeksi kedua (secondary infection)
virus akan menyebabkan infeksi lebih berkembang ke arah Demam Berdarah Dengue
(DBD). Insiden Dengue di
dunia sebanyak 2,5 miliar, sebanyak dua perlima penduduk dunia berada dalam
risiko terinfeksi Dengue. Badan kesehatan dunia WHO memperkirakan 50 juta
infeksi Dengue terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya. Ditahun 2007 sendiri
dilaporkan 890.000 kasus infeksi Dengue di Amerika, dimana 26.000 adalah
infeksi Demam Berdarah Dengue.1
Meskipun
banyak infeksi Dengue bersifat
asimtomatik, beberapa menimbulkan bermacam-macam gejala klinis mulai dari demam
ringan yang tidak spesifik, Dengue fever (DF), Dengue haemorraghic fever (DHF)
sampai yang mengarah kepada penyakit yang berat Dengue shock syndrome
(DSS). Demam Dengue (DF) ditandai dengan demam, kemerahan kulit,
sakit kepala, nyeri tulang dan lesu akan
tetapi gejala dapat berkembang ke arah yang lebih berat yaitu (DHF/DSS). DHF
ditandai dengan kelainan vaskuler yaitu kebocoran kapiler dan gangguan
hematologis dengan penurunan jumlah trombosit (thrombocytopenia), peningkatan
jumlah sitokin, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, dan perdarahan
spontan sedangkan DSS berkembang ke arah syok hipovolemik.4,5,7 Pada
kasus DHF/DSS meningkat seiring dengan
peningkatan jumlah virus, hampir 35-37% kasus infeksi Dengue memerlukan
perawatan rumah sakit.4 Telah diketahui lebih dari 100 negara, virus
Dengue merupakan faktor penyebab penyakit dan mengancam hampir 40% (2,5 miliar)
seluruh penduduk dunia.6
Saat ini belum
ada obat yang sesuai untuk penanganan demam berdarah Dengue selain terapi
suportif. 4,5,7 Demam Dengue yang tidak dirawat dan mengalami
komplikasi dapat mencapai angka kematian 50%. Berdasarkan data WHO, DSS/DHF
adalah merupakan penyebab utama kematian anak-anak dibeberapa Negara Asia.4
Kejadian
luar biasa (KLB) di Indonesia terjadi pada tahun 1968 dengan kejadian yang
terus meningkat setiap tahunnya. Di tahun 2004 terjadi lebih dari 50.000 kasus,
dengan kematian 603 orang. Berdasarkan uji klinis dan laboratoris melalui studi
kohort pada 272 pasien di rawat di Rumah Sakit di Jakarta yang terpapar virus
Dengue sebanyak180 orang (66,2 %). Berdasarkan gejala klinis dari 180 pasien,
100 (55,6%) orang diklasifikasikan sebagai DF, 31 (17,2%) DF disertai gejala perdarahan, 49(27,2%) DHF.
Berdasarkan uji hemaglutinasi inhibisi 33 dari 40 pasien (82,5%) dengan
kategori DHF merupakan infeksi sekunder, seluruh tipe Dengue teridentifikasi
pada penderita dengan infeksi sekunder, terutama serotipe Virus Dengue (DEN)-3,
diikuti oleh DEN-4, DEN-2, DEN-1.6 Di tahun 2007, hanya untuk
kejadian di Amerika saja lebih dari 800.000 kasus demam Dengue yang tergolong
memiliki gejala klinik ringan, dan lebih dari 25.000 merupakan kasus yang lebih
berat, demam berdarah Dengue (DHF).1
KLB telah dideklarasikan di Cairns, berlokasi di Queensland Australia
pada 1 Desember 2008, demikian pula pada 3 maret 2009 telah terdapat 503 kasus
demam Dengue pada populasi penduduk153.137. KLB kemudian terjadi di
Negara-negara dan kota-kota di sekitarnya
seperti Townsville (5 Januari 2009),
Port Douglas (6 Februari 2009), Yarrabah (19 Februari 2009), Injinoo (24
Februari 2009), Innisfail (27 Februari 2009) dan Rockhampton (10 Maret
2009). Pada awal tahun 2009, 18 orang meninggal dari 31.000 orang terinfeksi. Menteri
kesehatan Argentina menyatakan KLB terjadi di utara Provinsi Chaco, Catamarca, Salta, Jujuy dan
Corrientes, dengan kasus lebih dari 9.673 pada 11 april 2009.10
B.
Virus Dengue
Virus Dengue
merupakan family flaviridae, genus flavivirus bersama dengan virus lain,
seperti yellow fever virus (YFV), west nile virus (WNV), japanese encephalitis
virus (JEV) dan tick borne encephalitis virus (TBEV).2,6 Dengue
merupakan virus RNA, yang penyebarannya
melalui nyamuk terutama Aedes aegypti, selain itu dapat juga ditularkan oleh
nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan
beberapa spesies lain yang merupakan vektor yang kurang berperan.
Nyamuk Aedes aegypti
hidup di daerah tropis dan subtropis dengan suhu 28-32OC dan
kelembaban yang tinggi serta tidak dapat hidup di ketinggian 1000 m. Vektor
utama untuk arbovirus bersifat multiple bitter, antropofilik, dapat
hidup di alam bebas, terbang siang hari (jam 08.00-10.00 dan 14.00-16.00),
jarak terbang 100 m – 1 km, dan ditularkan oleh nyamuk betina yang terinfeksi.3,4
Virus Dengue
terdiri atas empat serotipe yang berbeda DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4, secara
antigenik sangat mirip satu dengan lainnya, tetapi tidak dapat menghasilkan
proteksi silang yang lengkap setelah terinfeksi oleh salah satu tipe keempat
serotipe virus dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN-3
merupakan serotipe yang dominan dan dianggap yang menunjukkan manifestasi
klinik yang berat. Infeksi dari satu jenis serotipe atau lebih di daerah tropis
dan subtropis terus meningkat seiring pertambahan penduduk, urbanisasi dan
penyebaran vector utama yaitu nyamuk Aedes
aegypti.
1. Struktur gen Virus Dengue
Genom virus
Dengue merupakan single-stranded positif-sense RNA dengan panjang genomnya sekitar
11 kb (kilobasa)/ dengan panjang 11.000 nukleotida yang terdiri dari open
reading frame (ORF) yang mengkode poliprotein, yang diterjemahkan dalam cap-dependent manner di reticulum
endoplasma kasar/ rough endoplasmic reticulum (rER). Dalam sel yang terinfeksi, poliprotein virus
mengalami penguraian secara proteolitik
menjadi sekurangnya 11 protein. Struktur protein virus meliputi tiga
protein struktural yaitu kapsid, membrane (M) atau precursor membrane (prM) dan
envelope (E), yang dikode oleh 5′ pada
1/3 ORF dan non struktural protein (NS) terdiri dari NS1, NS2A, NS2B, NS3,
NS4A, NS4B, and NS5, yang dikode pada
2/3 ORF.2,8
Protein
struktural, bersama dengan membran sel hospes, membentuk partikel virus. Protein
nonstruktural berperan dalam banyak hal termasuk replikasi RNA virus,
pembentukkan virion dan menghindar dari respon imun hospes. Dua protein
nonstruktural memiliki aktifitas enzimatik. NS3 berfungsi sebagai protease
(dengan NS2B sebagai kofaktor), nukleotida trifosfatase, 5’-RNA trifosfatase
dan helicase. NS5 bertindak sebagai metiltransferase dan RNA-dependent RNA
polymerase (RdRp) NS3 dan NS5 dua komponen
kunci untuk replikasi virus dan merupakan target untuk pengembangan
antivirus.2
Amino terminal
dari prM. E, NS1 dan NS4b
terbentuk pada pemecahan oleh sinyal peptidase reticulum endoplasma
hospes di lumen retikulum endoplasma, dimana proses hampir semua protein non struktural
dan C-terminal dari C protein terdiri dari dua komponen protease NS2b-NS3 di
sitoplasma sel yang terinfeksi virus Dengue. Untuk pemecahan C terminal
NS1 retikulum endoplasma peptidase
diduga berperan dan protein golgi furin protease menghasilkan pemecahan prM di
akhir infeksi untuk membentuk membran yang matang.
Replikasi RNA
virus Dengue terjadi erat kaitannya dengan membran sel yang banyak bertindak
sebagai pijakan pertama tahapan kompleks
replikasi virus/ replication
complex (RC). NS5 diidentifikasi sebagai RNA-dependent RNA polymerase
(RdRp) dan juga memiliki aktifitas
metiltransferase yang penting untuk pembentukkan struktur cap RNA. NS3 bertindak sebagai serin
protease virus, yang membutuhkan adanya protein
NS2B sebagai kofaktor untuk aktifitasnya. NS3 juga terdiri dari RNA trifosfatase seperti RNA helikase
dengan aktifitas nukleosida trifosfatase.
NS1 dipercaya memiliki peranan penting dalam replikasi virus, yang
paling memungkinkan adalah awal untuk
atau menginisiasi minus-strand. Bagian
yang belum diketahui adalah fungsi dari protein nonstruktural kecil NS2A, NS4A and NS4B, yang diperkirakan mereka
berperan sebagai penyaji tautan RC virus
ke membran intraseluler. Lebih jauh lagi mereka dianggap sebagai protein yang
menghambat respon hospes terhadap interferon.12
Struktur genome virus Dengue, pembentukkan poliprotein dan topologi
membrane virus:
A) Skema genom single stranded RNA genome dengan komponen struktur RNA pada 5' and 3' NTRs.
A) Skema genom single stranded RNA genome dengan komponen struktur RNA pada 5' and 3' NTRs.
B) Genom virus Dengue dan fungsi
protein virus, beberapa protein fungsinya dalam siklus hidup belum diketahui.
C) Topologi membrane virus
Dengue, keterlibatan protein virus Dengue dan proteinase dalam pemecahan
poliprotein.12
2.Replikasi Virus
Partikel virus
Dengue berikatan dengan sel melalui interaksi antara glikoprotein
permukaan dengan satu atau lebih
reseptor selular (s) yang sedikit sekali telah diketahui. Partikel dapat masuk
ke dalam sel melalui Fc-receptor dengan opsonisasi.
Virion
masuk diperantarai reseptor mediator endositosis menyebabkan pelepasan genom
virus dari nukleocapsid dalam keadaan pH yang rendah. Segera setelah infeksi,
protein virus menginduksi penyusunan kembali struktur membran intraseluler membentuk struktur yang telah didesain
berbentuk paket-paket gelembung dan membran yang kusut, tampaknya paket
gelembung pada tempat replikasi RNA,
kemungkinan dikatalisasi oleh protein multikompleks yang dihasilkan oleh
protein virus, membran sel dan juga protein selular.
RNA virus Dengue
bereplikasi melalui utas negatif intermediet yang menyajikan templat untuk
produksi dalam jumlah berlebih progenitor utas positif. Partikel virus
diperkirakan dibentuk dengan budding ke retikulum endoplasma dan ditanspor
melalui jalur sekretori sel hospes.
Dalam siklus
replikasi virus Dengue, virus memasuki sel dimediasi oleh reseptor endositosis
dan setelah RNA virus terbuka di terjemahkan di retikulum endoplasma kasar
tempat replikasi RNA. Protein virus menginduksi
perubahan membran sehingga bertindak sebagai penyaji tempat replikasi RNA. Partikel virus terbentuk melalui budding pada
membrane retikulum endoplasma dan partikel disekresi melalui jalur sekretori.13
3. Infeksi Dengue
Virus Dengue ditularkan ke manusia melalui gigitan
nyamuk betina Aedes aegypti. Nyamuk biasanya mendapatkan
virus infektif ketika mengambil makanan dengan menghisap darah seseorang yang
terinfeksi. Setelah inkubasi virus selama 10 hari dalam tubuh nyamuk, melalui
proboscis nyamuk dapat ditularkan kepada orang lain ketika pengambilan makanan
melalui penghisapan darah, dan kemudian terus menyebarkan virus tersebut sepanjang hidupnya. Nyamuk
betina yang terinfeksi dapat juga menyebarkan virus melalui keturunan melalui
telur (transovarial transmission),
tetapi peranan sistem penularan virus ke manusia seperti ini belum jelas.3
Virus Dengue ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
albopictus, Aedes polynesiensis. Penularannya dapat langsung, yaitu melalui
gigitan pada orang yang sedang mengalami viremia, maupun secara tidak langsung
setelah melalui inkubasi dalam tubuhnya, yakni selama 8-10 hari (extrinsic
incubation period). Pada anak diperlukan waktu 4-6 hari (intrinsic
incubation period) sebelum menjadi sakit setelah virus masuk ke dalam
tubuh. Pada nyamuk, sekali virus dapat masuk dan berkembaang biak dalam
tubuhnya, maka nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya
(infektif). Sedangkan pada manusia, penularan hanya dapat terjadi pada saat
tubuh dalam keadaan viremia yaitu antara 5- 7 hari.17
Meskipun Dengue merupakan penyakit virus yang telah menyebar secara luas, tidak
banyak penelitian yang mengarah kepada hubungan antara virus Dengue dengan
vektornya. Keberhasilan penularan virus Dengue dipengaruhi oleh virulensi,
imunitas hospes dan kepekaan nyamuk terhadap infeksi virus Dengue. Tahap awal
dari infeksi pada nyamuk oleh virus tergantung interaksi virus dengan reseptor
yang ada pada membran sel perut nyamuk. Endositosis virus oleh nyamuk merupakan
tahapan penting dalam penentuan sel yang kemungkinan bisa terinfeksi. Populasi Aedes aegypti yang berbeda menunjukkan
perbedaan kepekaan terhadap infeksi oleh virus. Karena rongga perut nyamuk
merupakan barier untuk infeksi, menurut penelitian Mercado-Curiel et al, terdapat
tiga strain Aedes aegypti yang
berbeda berdasarkan kepekaan rongga perut terhadap infeksi virus. Dua strain
yang peka terhadap infeksi virus yaitu DS3 dan DMEB sedangkan strain yang
resisten adalah strain yang kebal IBO-11.16
a. Karakteristik Demam Dengue
Demam
Dengue adalah penyakit menyerupai flu
berat yang dapat menyerang bayi, anak-anak dan dewasa, tetapi jarang
berakibat kematian. Tanda-tanda klinis dari demam Dengue bervariasi tergantung
usia dari penderita. Bayi dan anak-anak kemungkian menunjukkan gejala demam
dengan bercak kemerahan. Anak yang lebih besar, kemungkinan terjadi gejala
demam tinggi dan kelemahan dengan
tiba-tiba, sakit kepala berat, sakit pada belakang mata, sakit otot dan sendi
dan bercak kemerahan.
Demam infeksi arbovirus lainnya yang menyerupai
demam Dengue yaitu demam chikungunya, keduanya ditularkan oleh nyamuk Aedes,
tapi untuk chikungunya oleh nyamuk Aedes
albopictus. Chikungunya ditandai demam, bercak merah, mialgia akan tetapi
tidak fatal seperti demam Dengue yang bisa mengarah ke demam berdarah dan
berakibat kematian. Saat ini pemeriksaan Dengue dan chikungunya didiagnosis
dengan mendeteksi antibodi dalam serum pasien. Pemeriksaan terbaru dengan
teknik molekular yang mendeteksi materi genetik virus yang keduanya merupakan
virus RNA, berdasar penelitian Dash dan kolega menunjukkan amplifikasi PCR
virus Dengue dan Chikungunya dapat dilakukan bersama-sama dalam satu tabung.
Dalam waktu reaksi PCR selama 4 jam,
dengan disertai kedua primer, yang
spesifik untuk Dengue dan Chikungunya, kemajuan teknik ini memungkinkan mendeteksi seseorang yang terinfeksi
keduanya.
Demam
Berdarah Dengue adalah komplikasi yang berakibat fatal yang ditandai dengan
demam tinggi, biasanya disertai pembesaran organ hati, dan terjadi kegagalan
pada sistem sirkulasi darah. Biasanya ditandai dengan peningkatan suhu
secara tiba-tiba disertai dengan wajah
yang kemerah-merahan dan gejala seperti sakit flu. Demam biasanya berlanjut
selama dua sampai tujuh hari dan dapat meningkat sampai 41⁰C, kemungkinan juga
disertai dengan renjatan dan komplikasi
lainnya. Pada kasus DBD sedang. Semua tanda-tanda dan gejala akan reda
setelah demam turun. Dalam kasus yang
berat, kondisi pasien dapat secara
tiba-tiba menurun dengan cepat dan masuk ke dalam keadaan syok dan meninggal
dalam 12-24 jam, atau terjadi penyembuhan cepat setelah melalui perawatan medis
yang sesuai.3
Dengue
Shock Syndrome (DSS) didefinisikan sebagai demam dengan timbulnya perdarahan, trombositopenia,
hemokonsentrasi atau tanda-tanda kebocoran plasma lainnya. Infeksi Dengue berat
ditandai oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah, peningkatan jumlah
leukosit, peningkatan nilai hematokrit, dan variasi derajat perdarahan.
Kebocoran plasma yang meluas pada berbagai
rongga serosa dalam tubuh akan menghasilkan syok yang sangat dalam. Hemoragik ketika terjadi akan menyebabkan hipotensi.16
Diagnosis klinis demam berdarah (WHO,1997):
a.
Demam mendadak tinggi
b.
Perdarahan (termasuk uji bendung), seperti epistaksis, hematemesis,
hepatomegali.
c.
Syok : nadi kecil dan cepat, tekanan nadi <20 atau="" disertai="" gelisah="" hipotensi="">20>
Beratnya penyakit demam Dengue
dibagi ke dalam empat derajat yaitu :
a.
Derajat I : demam dengan uji bendung positif
b.
Derajat II : derajat 1 ditambah perdarahan spontan.
c.
Derajat III : nadi cepat dan lemah, tekanan nadi < 20 mm Hg akral
dingin.
d.
Derajat IV : syok berat, nadi tak teraba, tekanan darah tak teratur
Pemeriksaan laboratorium ditandai dengan
Trombositopenia (< 100.000/ul), Hemokonsentrasi (kadar Ht lebih 20% dari
normal), Untuk pemeriksaan positif dan negatif penderita DHF dapat digunakan
Dengue blot kit Ig G dan Ig M. Pada pemeriksaan radiologis didapatkan efusi pleura,
terutama di rontgen dapat hemitorak kanan tetapi apabila hebat dapat dijumpai
pada kedua hemitorak. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dilakukan dalam
posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur di sisi kanan). Ascites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan
pemeriksaan USG.17
b.
Patogenitas infeksi Dengue
Virus Dengue
umumnya menyebabkan demam ringan, demam Dengue (Dengue fever/DF) dan kadangkala
menuju ke arah penyakit yang lebih parah
demam berdarah Dengue dan Dengue shock
syndrome (DHF/DSS). Masih merupakan kontroversi mengenai patogenitas DHF/DSS,
peneliti pada umumnya mengemukakan parahnya penyakit berkaitan dengan
meningkatnya replikasi virus. Tempat
utama virus bereplikasi setelah manusia terinjeksi melalui gigitan nyamuk,
adalah monosit fagositik. Virus Dengue bereplikasi dan titer yang tinggi pada
sel mononuklear manusia, terutama dengan adanya reaksi antibodi non netralisasi
Dengue. Fenomena seperti ini dikenal
dengan antibody-dependent enhancement (ADE) dari infeksi virus, hal ini
kemungkinan disebabkan oleh komplek virion yang infeksius, virion dan antibodi
menambah akses ke sel monosit melalui reseptor Fcγ. Menjadi sebuah hipotesis bahwa DHF/DSS dapat dipicu oleh replikasi virus dan proses imunopatologi yang disebabkan
oleh disfungsi monosit dan gangguan
reaksi yang disebabkan oleh sel-T limfosit yang teraktivasi.8
Angka kematian Dengue dapat meningkat sampai
40-50% pada pasien yang tidak dirawat. Pasien yang mendapatkan infeksi untuk
pertama kalinya (infeksi primer) biasanya tidak menunjukkan gejala dan akan
menimbulkan imunitas terhadap strain yang sama, 90% kasus DHF/DSS berasal dari paparan kedua (infeksi
sekunder). Pasien dengan infeksi sekunder heterotipe sekurangnya 40 sampai 80
kali berkembang ke arah DHF/DSS dibandingkan pasien infeksi primer.4
Mekanisme
berkembangnya demam Dengue menjadi DHF/DSS dapat dijelaskan berdasarkan
interaksi tiga komponen penting terhadap peningkatan respon imun:
Komponen pertama yaitu kesalahan pengaturan respon imun yang dimediasi
oleh sel. Dalam hal ini terjadi reaksi silang antara sel B dan sel T dimulai ketika virus
Dengue menginfeksi sel dendritik, akan menyebabkan sel T teraktifasi secara
membabi buta, sel T yang teraktifasi selama infeksi Dengue akan berfloriferasi
dan terjadi reaksi silang fungsi
efektor, yaitu dengan produksi sitokin dalam jumlah yang banyak yang
akan terlihat meningkat terutama pada kasus DHF/DSS.
Komponen kedua adalah
Antibody Dependent Enhancment (ADE). Antibodi heterolog non-netralisasi
akan mengenali epitop Dengue dan meningkatkan infektifitas pada Fc-dependent.
Kemudian antibodi akan mengakibatkan
penyakit autoimun yang akan menyebabkan peningkatan kebocoran
plasma dan produksi sitokin.
Komponen yang ketiga adalah aktifitas komplemen, dengan banyaknya
produksi sitokin yang menandai DHF/DSS
diatur oleh protein komplemen dan berhubungan dengan anafilatoksin.
Ketiga komponen tersebut saling berinteraksi dan saling menekan satu sama lain yang merupakan situasi yang mengancam
penyebab kematian pada infeksi Dengue.4
1)
Antibody Dependent Enhancment (ADE)
Antibody Dependent Enhancment (ADE) adalah
mekanisme sistem imun yang dapat meningkatkan patogenesis virus. Ketika seekor monyet secara pasif
diimunisasi sebelumnya ketika terinfeksi virus Dengue mereka memiliki 15 kali
titer virus lebih tinggi dibandingkan
dengan monyet-monyet yang tidak diberi suplemen IgG. Demikian pula
dengan bayi baru lahir yang mendapatkan kekebalan dari ibunya akan meningkatkan
risiko untuk DHF/DSS. Hipotesis mengenai antibodi yang meningkatkan infeksi
virus adalah kemungkinan disebabkan oleh antibodi non netralisasi yang
membiarkan virion aktif masuk ke dalam sel.
Reseptor Fc (FcR) merupakan komponen kunci dalam model pathogenesis ADE.
FcR ditemukan hampir pada semua sel fagosit termasuk sel dendritik dan
makrofag. Fungsi FcR sebagai komplek multisubunit yang sifatnya melekat pada
IgG dan membentuk rantai alpha sebagai daerah pengenalan antigen, immunoreceptor
tyrosine based activation motif (ITAM) dan
rantai gamma yang berperan dalam transduksi sinyal. IgM tidak langsung
berperan dalam ADE tapi berperan dalam aktivasi reseptor komplemen, antibody
IgM dapat dicegah dengan memblok
reseptor C3. Berdasar hipotesis , mediator IgG dan IgM terhadap
peningkatan infeksi virus yang
disebabkan ADE dipengaruhi oleh banyak variabel. Jalur signaling FcR pada
umumnya memulai aktivasi sel imun,
dengan demikian FcR memodulasi sistem imun. Pada keadaan normal interaksi virus
dengan antibodi akan menimbulkan netralisasi, akan tetapi pada infeksi virus
yang berbeda tipe, antibodi
bersifat non netralisasi dan meningkatkan infeksi.
Cell line yang mengekspresikan FcgRIA atau FcgRIIA telah digunakan untuk
menunjukkan bahwa komplek imun dapat
meningkatkan infeksi virus sehubungan dengan mediator FcR. FcgRIA hanya ditemukan di sel
makrofag dan sel dendritik dan lebih menyukai berikatan dengan IgG monomer,
sedangkan FcgRIIA
lebih tersebar dan lebih menyukai berikatan dengan komplek imun, ketika bertemu
dengan ikatan imun kompleks yang mengandung virus, kedua Cell line memperlihatkan peningkatan infeksi, bagaimanapun, ketika
kapasitas signaling FcR dirusak, fagositosis menurun akan tetapi peningkatan
infeksi tidak mempengaruhi FcgRIIA.
Pada FcgRIIA cell line, baik fagositosis dan
peningkatan infeksi karena imun dapat diturunkan dengan dirusaknya sel
signaling, hal ini menandakan bahwa
peningkatan imun dipengaruhi oleh lebih dari satu mekanisme.4
2)
Sel dendritik
Reseptor pada sel dendritik
sebagai sel target virus Dengue yang diduga
menginisiasi virus adalah dendtitic cell-spesific intracellular adhesion
molecule-3 (ICAM3)-grabbing non integrin (DC-SIGN)/CD209. Sel dendritik
merupakan sel yang berperan dalam melawan infeksi virus karena kemampuannya
untuk mendapatkan virus dan menyajikan
antigen virus yang akan dihadapkan ke sistem imun. Sel dendritik mempengaruhi
virus Dengue dengan dua jalan. Sel dendritik imatur mengekspresikan dalam
jumlah banyak DC-SIGN yang memfasilitasi permulaan pengikatan dan masuknya virus.
Sementara itu sel dendritik matang tidak memiliki DC-SIGN dalam jumlah banyak,
mereka memfasilitasi ADE melalui reseptor FcgIIa
dan FcgIIb. Efek ini paling
terlihat sangat jelas pada pengenceran serum 1:640 sampai 1:2.560 dengan
netralisasi lengkap pada 1:10. ADE pada sel dendritik dapat meningkatkan
produksi RNA virus lebih dari 100 kali, hal ini membuat sel dendritik merupakan
sel yang berperan dalam pathogenesis Dengue. Sel dendritik yang terinfeksi juga
berperan dalam kebocoran plasma melalui produksi matrik metalloproteinase
(MMPs). MMP-2, MMP-13 dan MMP-9 sangat meningkat tajam pada sel dendritik
imatur yang terinfeksi oleh virus Dengue tipe 2.
DC-SIGN
memiliki afinitas tinggi terhadap molekul ICAM3 yang terekspresi pada sel T,
untuk menjadi teraktivasi, sel T mengalami proses yang lama dan melalui banyak
fase dan membutuhkan waktu sekitar 6-24 jam. Molekul adesi seperti ICAM1 dan
ICAM3 adalah molekul yang paling banyak terbentuk selama fase aktivasi sel T
dan dapat berikatan dengan molekul adesi sel dendritik yang diketahui sebagai
sel target virus Dengue terutama melalui DC-SIGN, molekul ini penting untuk
membentuk sinaps yang stabil antara sel dendritik dan sel T.4
Dendritik sel imatur dapat
terpolarisasi menjadi tipe 1, tipe 2 dan tipe pengaturan patogen berhubungan
dengan pola molekular (pathogen associated molecular patterns / PAMPs) atau
faktor jaringan ( tissue factors / TFs)
untuk pematangan dan menjadi sel
dendritik matang sebagai efektor yang memulai perkembangan sel T menjadi Th1,
Th2 atau pengaturan adaptif (TReg) dari Th. Suatu pengecualian
apabila ada patogen tertentu dapat menghambat pematangan sel dendritik,
menghasilkan pengaturan dendritik sel imatur. Sel dendritik terpolarisasi oleh
faktor jaringan dapat dihasilkan oleh bermacam-macam sel jaringan dan sel imun,
termasuk sel epitel, natural killer (NK)
cells, mast cells, makrofag, fibroblast dan lainnya. Sel-sel ini akan menghasilkan
tipe 1, tipe 2 atau TFs tergantung asalnya atau jalan mereka teraktivasi. Sel
epitel kulit, sebagai contoh, menghasilkan tipe 1, interferons (IFNs) dan interleukin-18 (IL-18) sebagai respon terhadap double-stranded RNA dan thymic stromal lymphopoietin (TSLP) pada keadaan dermatitis akut atipik. Sebaliknya iris dan epitel pigmen retina
menghasilkan transforming-growth factor- (TGF- ).
3)
Sel T limfosit
Sel
T yang telah teraktivasi selanjutnya akan memicu pematangan dengan
mengekspresikan CD40L, stimulasi berikutnya oleh sitokin seperti TNF-a, IFN-g, IL-6 yang akan memicu
dengan cepat pematangan dan sensitifitas sel dendritik. Sebaliknya simulasi sel
dendritik dengan IL-10 dan sitokin anti inflamasi lainnya memicu pengaturan
fenotip dendritik sel. Pengaturan sel dendritik dapat melemahkan sistem imun
dan memicu daya tahan seperti pada pengaturan sel T. Sel dendritik
juga dapat mengaktivasi sel B melalui co-stimulasi CD40, IL-6 dan IL-12.
Yang paling penting dari interaksi sel
dendritik ada di dua tempat : pematangan sel dendritik dan sinaps sel T.
Keduanya merupakan hal yang potensial untuk menekan sistem imun terhadap infeksi Dengue. Apabila sel
dendritik gagal mengalami maturasi sempurna, bukan hanya tidak dapat
menstimulasi sel T akan tetapi mereka dapat meningkatkan daya tahan. Interaksi
sel dendritik dan sel T merupakan koordinat yang penting, gangguan terhadap
sinaps ini dapat memicu pathogenesis Dengue. Sel T memori spesifik Dengue
secara simultan terus berploriferasi dan apoptosis selama infeksi heterotipe,
hasilnya, bahwa sel T memiliki respon kurang efisien dan kurang spesifik.
Mekanisme yang belum jelas antara sel dendritik dan sel T potensial untuk
dilakukan penelitian.4
Respon sel T terhadap virus Dengue
Kesalahan
pengaturan sel T terhadap infeksi kedua
dari tipe virus yang berbeda dapat
menyebabkan reaksi silang, afinitas sel T yang rendah. Aktifasi dari efektor
sel T dan sekresi sitokin ditetapkan sebagai kunci dari perkembangan penyakit
yang berhubungan dengan infeksi virus. 4
Ichiro
kurane at al telah menganalisa respon sel T limfosit terhadap antigen secara in
vitro untuk menjelaskan kemungkinan keterlibatan limfosit T dalam patogenitas
dari komplikasi infeksi Dengue. Antigen
Dengue menginduksi respon proliferasi dari PMBC dari pasien donor yang
positif antibody terhadap Dengue, tetapi tidak menginduksi respon ploriferasi spesifik
dari PMBC donor yang tidak mengandung antibody terhadap Dengue, IFN-g terdeteksi pada cairan kultur
dari PMBC yang distimulasi dengan antigen Dengue dan sel yang
berploriferasi memiliki fenotip CD3+,
CD4+, CD8-, CD16- dan CD20-. Cell line spesifik sel T Dengue yang diperoleh
dari pengenceran minimal memiliki fenotip CD3+, CD4+, CD8- dan menghasilkan
IFN-g sebagai respon terhadap antigen Dengue.
Cairan kultur dari PMBC yang mengandung antibodi distimulasi dengan antigen
Dengue mengandung IFN-g yang menambah infeksi virus Dengue ke sel
monosit dengan kompleks Dengue-antibodi. Hal ini menunjukkan PMBC donor
berantibodi , sel T yang berploriferasi mengandung CD4+ dan memproduksi IFN-g
setelah distimulasi oleh antigen Dengue, hal itu membuktikan bahwa produksi IFN-g oleh sel T yang distimulasi oleh Dengue
berperan dalam patogenitas DHF/DSS melalui peningkatan jumlah monosit yang
terinfeksi Dengue dan menyebabkan reaksi silang antigen antibodi dan
mengaktivasi makrofag untuk mengeluarkan bahan
vasoaktif.15
Telah
dilakukan penelitian pada empat pasien
di Vietnam, India, Cuba dan Brazil semuanya menunjukkan peningkatan sitokin IFN-g , TNF-a,
IL-10, IL-1, IL-6, IL-8 dan MCP1. Pada studi in vitro, IFN-g , IL-6, TNF-a
dan RANTES (Regulated upon Activation Normal T cell Express and presumably
secreted) juga merupakan hal yang penting dalam pathogenesis Dengue. Ada 15
macam sitokin yang dimodulasi oleh penyakit ini. Sitokin ini berkaitan dengan
keterlibatan sel T limfosit. Khususnya IFN-g dan TNF-a
sangat kuat hubungannya dengan beratnya penyakit dan sangat berkaitan dengan
aktivasi sel T. peningkatan jumlah sitokin merupakan petanda aktivasi sel T,
CD69, CD38 dan CCR7 meningkat pada infeksi Dengue dan peningkatan IFN-g oleh sel T spesifik akan meningkatkan
jumlah reseptor Fcg, dimana resepytor
ini berperan dalam ADE.4
CD8+ peranannya dalam membantu dalam
pengaturan infeksi virus dini, tapi proliferasi CD8+ yang terus menerus dapat
berakibat pada Dengue pathogenesis. CD4+ selama fase infeksi primer pada mencit
rendah, akan tetapi pada infeksi sekunder terjadi peningkatan, hal ini
menandakan terjadi peningkatan respon CD4+.4
4)
Respon imun terhadap infeksi primer dan sekunder Dengue
Infeksi primer :
Merupakan kekebalan jangka
panjang namun hanya pada serotype yang menginfeksi.
a. IgM
-
Diproduksi 5 hari setelah gejala timbul
-
Meningkat 1-3 minggu dan tetap ada selama 30-60 hari (atau sampai 90 hari)
b. IgG
-
Timbul sekitar 14 hari setelah onset gejala dan tetap ada seumur hidup.
Infeksi sekunder
IgM tidak terbentuk sampai 20
hari setelah onset penyakit, IgG meningkat dengan cepat pada hari ke 1-2 setelah gejala timbul,
bertahan pada konsentrasi tinggi selama 30-40 hari, kemudian menurun.
5)
Penyakit Autoimun
Dengan adanya
ADE dan gangguan pada sel T, penyakit autoimun penting dalam pathogenesis
Dengue. Antibodi anti NS1 telah dikembangkan
dan menunjukkan afinitas terhadap
fibrinogen, trombosit dan sel endotel. NS1 merupakan glikoprotein yang
disekresikan oleh sel yang terinfeksi, terutama terdapat dalam supernatan serum
pasien, tetapi tidak ada dalam virus. NS1 diketahui sebagai imun target
utama, konsentrasi tinggi
ditemukan pada pasien berat. Ketika sel terkena antibodi NS1 sel akan mengalami
apoptosis intrinsic, yang ditandai
dengan fragmentasi DNA dan pelepasan pospatidilserin. Bcl-2, Bcl-x menurun
sedangkan P53, Bax dan sitokrom c meningkat tergantung dengan adanya iNOS.
Apoptosis merupakan respon terhadap
antibodi NS1 dapat diatasi dengan dihambat oleh iNOS inhibitor. Antibodi memori
akan menyebabkan reaksi inflamasi bersama antibodi anti-NS1 menstimulasi
pelepasan IL-6, IL-8 dan MCP-1 tergantung pada NFkB. Yang berkaitan dengan pengikatan antibodi
adalah peningkatan ICAM1, yang dapat memfasilitasi pelekatan PMBC ke sel endotel. Baik penghambatan NFkB atau penghambatan antibodi NS1 terlarut dapat menghambat
pelepasan sitokin in vitro. Dengan menggunakan Flow cytometry ELISA, dapat
diamati bahwa NS1 berikatan dengan sel yang tidak terinfeksi. Pengikatan NS1 juga
biasa ditemukan pada heparan sulfat dan kondroitin sulfat E. Pada percobaan mencit, jaringan dengan protein ini jumlah lebih
besar sangat peka untuk interaksi ini dan NS1 dapat ditemukan terikat pada sel paru dan hati,
tetapi tidak pada sel intestinal atau endotel otak mencit. Ada hubungan yang sangat kuat antara konsentrasi NS1 pada
serum pasien dengan konsentrasi tinggi anafilatoksin yang menandakan NS1 erat
kaitannya dengan peranannya dalam aktivasi komplemen. Selanjutnya anafilatoksin
akan berada di paru-paru dan plasma pasien dengan infeksi Dengue.
Supernatan yang dikumpulkan dari sel
yang terinfeksi dengue dan dicampur dengan serum normal menunjukkan terjadi
aktivasi komplemen yang dipengaruhi oleh jumlah NS1. Ketika supernatan dicampur
dengan antibodi yang dimurnikan dari serum convalescent ditemukan hasil yang sama, NS1 mengaktivasi
komplemen dan aktivasi komplemen
diiringi oleh antibodi anti Dengue. Terdapat hubungan yang kuat antara konsentrasi NS1 dengan pembentukkan
komplek C5b-C9.4
6)
Aktivasi komplemen oleh protein Dengue dan antibody
Komplemen merupakan jalur
mekanisme pertahanan yang didesain kapasitasnya
sebagai penjaga dan menjalankan fungsinya sebagai efektor. Ada tiga
jalur aktivasi komplemen:
Jalur klasik adalah dimulai dengan
pembentukkan komplek antibodi-C1q pada permukaan patogen atau sel yang
terinfeksi patogen. Komplek ini akan mengaktivasi C2 melalui serin protease dan
kompleks itu sendiri juga dapat berperan sebagai serin protease. Protein C2a
bersama protein C4a membentuk C3
konvertase C2aC4b. C3b membentuk komplek protein sentral dari sistem komplemen
dan juga dengan cara berikatan dengan reseptor komplemen atau dengan membentuk
komplek dengan C2aC4b untuk membentuk C5 konvertase C2aC4bC3b. Komplek
ini dapat berikatan dan C5a yang stabil yang membentuk fungsi sentral
efektor dari seputar sistem komplemen dengan protein C5-C9 akan berikatan dan
bekerjasama melisiskan sel.
Jalur ikatan manosa memiliki alur yang
sama dengan jalur klasik tapi fungsinya secara bebas dalam pembentukkan
antibodi, walaupun MASP1 dan MASP2 terikat pada manosa berikatan dengan
struktur manosa biasanya ditemukan pada patogen. Komplek manan-lektin sangat
homolog dengan C1q dan dapat mengaktivasi C2 dan C4. Pada sel somatik
normal yang bebas adanya gula asam
sialat dan jarang berada dalam patogen
C1q memulai tahapan lisis.
Jalur aktivasi komplemen dimulai dengan
aktivasi spontan protein komplemen. Pada jalur ini ikatan tioester pada C3
melalui hidrolisis yang memungkinkan pengikatan factor B dan turunannya dipecah
oleh protease plasma factor D. C3b dan factor Bb membentuk C5 konvertase.
Jalannya jalur aktivasi komplemen dicegah oleh ikatan reseptor komplemen (CR)
dengan membran aktif decay accelerating
factor (DAF, atau CD55) yang dapat mencegah turunan komplemen. Pada pasien Dengue berat, jumlah
C3a yang banyak menampakkan peranan
komplemen dalam pathogenesis Dengue. C3a merupakan salah satu dari beberapa
anafilatoksin yang dihasilkan oleh aktivasi
komplemen yang memungkinkan terjadinya gangguan pembuluh darah. C3a
bertindak sebagai kemotaktik yang
menarik monosit, makrofag dan sel dendritik, mengatur vasodilatasi dan meningkatkan
permeabilitas kapiler dan kontraksi otot polos. Pada makrofag, eosinofil dan
netrofil anafilatoksin dapat merangsang ledakan oksidatif, basofil dan mast cell yang melepaskan histamine dan
C3a dapat meningkatkan efek dari antiinflamasi yang lain yaitu sitokin seperti
TNF-a, IL-6 dan SDF1. Reseptor
C3a akan memicu pelepasan sitokin melalui posporilasi seperti pada
aktifase MAP kinase. C3aR terekpresi
oleh mediator-mediator sistem imun seperti
netrofil, basofil, eosinofil, mast
cell, monosit/makrofag, sel dendritik, microglia seperti juga sel-sel non
mieloid seperti astrosit, sel epitel, sel otot polos dan sel T teraktivasi
(tetapi tidak pada sel T yang tidak teraktivasi).
7)
Anafilatoksin
Ketika sekresi
TNF-a dan rekrutmen sel imun
hampir mengalami kerusakan, efek anafilatoksin (AT) dapat sangat banyak . C3a
dan C5a mengatur vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan
dapat memicu degranulasi dan oksidasi dari netrofil, eosinofil dan basofil. C3a
dan C5a bertindak sebagai reseptor spesifik untuk menghasilkan respon inflamasi
lokal dan ketika sekresi pada konsentrasi yang cukup tinggi untuk meminta respon sistemik umum, akan
menyebabkan sirkulasi kolaps. AT memodulasi sekresi IL-6 dan TNF-a dari sel B dan bertindak
sebagai kemoatraktan. C5a juga bekerja langsung pada netrofil dan monosit unuk
meningkatkan molekul adesi, migrasi dan fagositosis. Beberapa sumber utama C3
adalah APC seperti makrofag dan sel dendritik. Mengikuti stimulasi antigenik
baik sel dendritik atau sel T merangsang reseptor C3a dan C5a menghasilkan C3,
komplemen alternative factor B dan D dan menurunkan C55. Penurunan C55 akan
memicu proliferasi sel T dan ekspesi sitokin sel Th1, yang akan menambah
produksi C3. APC yang melepaskan C3 dimulai dengan autokrin dan parakrin C3R
signaling. C3R signaling akan menimbulkan MHC kelas II terekspresi,
menstimulasi sekresi IL-12 dan B7. Anafilatoksin diketahui sebagai inisiator
inflamasi memegang peranan yang penting dalam pengaturan interaksi APC-sel T.
yang terpenting dalam patogenitas Dengue adalah
terletak pada kesalahan pengaturan proses imun dan komplemen,
anafilatoksin menjadi teraktifasi oleh sel dendritik yang dimasuki antigen dan
terpresentasikan, reaksi silang antibodi, peningkatan reseptor komplemen, dan C
protein yang sangat membahayakan pasien terinfeksi Dengue.4
4.
Diagnosis infeksi Dengue
Diagnosis yang
sensitif dan spesifik untuk infeksi Dengue
dapat membantu penanganan pasien,
diagnosis dini pada kasus Dengue dengan
mendeteksi protein virus, NS1 diperkenalkan sebagai pendekatan yang baru dalam
diagnosis Dengue. NS1 adalah glikoprotein 55kDa disekresikan oleh sel yang
terinfeksi virus Dengue (DENV) in vitro dan in vivo. NS1 dapat mengaktivasi komplemen yang akan
memicu kerusakan sel endotel dan kebocoran pembuluh kapiler. Uji yang telah tersedia dengan ELISA untuk mendeteksi protein NS1
DENV pada plasma akut, merupakan alat diagnostik untuk mengarah ke pendekatan
PCR. Berdasarkan penelitian Vu Ty Hang, pemeriksaan NS1 ELISA sensitif pada pemeriksaan infeksi primer dibandingkan infeksi sekunder, hasil positif
pada NS1 menunjukkan viremia yang signifikan, sedangkan hasil negatif
berhubungan dengan lamanya penyakit, karena NS1 sudah kurang sensitif untuk
lama sakit yang lebih dari 3 hari.5
Metode
pemeriksaan yang dapat menentukan jumlah virus secara kuantitatif, metode
imunoasay dapat digunakan sebagai
alternatif untuk memonitor secara semikuantitatif replikasi virus pada sel
kultur. Adanya protein NS1 dievaluasi
dari supernatan dari sel Vero dan sel
C6/36 HT yang diinfeksi dengan virus Dengue. Jumlah NS1 yang terdeteksi pada
supernatan sel terinfeksi sebanding dengan minimum
of infection (MOI) awal yang digunakan dan terhadap waktu pemanenan post
infeksi . imunoasay ini juga dapat mendeteksi adanya NS1 di supernatan yang
menginfeksi makrofag. Hambatan terhadap replikasi virus Dengue pada C6/36 HT
ditangani dengan obat lisomotropik yang siap diamati bersama teknik
pemeriksaan. Hal ini memungkinkan uji semikuantitatif imunoasay dapat digunakan
sebagai metode yang cepat dan mewakili uji kuantitaitif terhadap replikasi
virus pada sel kultur.
Daftar Pustaka
1. Juan
E Ludert, Clemente Mosso, Ivonne Caballos-Olvera, Rosa M del Angel. Use of
commercial enzyme immunoassays to monitor Dengue virus replication in cultured
cells,Virology Journal,2008
2. Zheng
Yin, Yen-Liang Chen, Wouter Schul, Qing-Yin Wang, Feng Gu, Jeyaraj Duraiswamy,
et al.An Adenosin nucleoside inhibitor of Dengue virus,2009
3. J.J.H
Chu, Priscilla L. Yang, c-Src protein kinase inhibitor block assembly and
maturation of Dengue virus, 2007.
4. David
G Nielsen, The relationship of interacting immunological components in Dengue
pathogenesis, Virology Journal Review, 2009.
5. Vu
Ty Hang, Nguyen Minh Nguyet, Dinh the Trung, Vianney Tricou, Sutee Yoksan,
Nguyen Minh Dung, et al. Diagnostic Accuracy of NS1 ELISA and Lateral Flow
Rapid Test for Dengue sensitivity, specificity and relationship to viremia and
antibody respons, 2009.
6. Agus
Suwandono, Herman Kosasih, Nurhayati, Rita Kusriastuti, Syarial Harun, Chairin
Ma’roef, et al. Four Dengue virus serotipes found circulating during an
outbreak of Dengue fever and Dengue haemorraghic fever in Jakarta, Indonesia
during 2004, Elsevier , 2006
7. Daniele
G Souza, Caio T Fagundes, Lirlandia P Souza, Flavio A Amaral, Rafael S
Souza, Erna G Kroon, et al. Essential
role of platelet-activating factor receptor in the pathogenesis of Dengue virus
infection, 2009
8. Yi-Ling
Lin, Ching-Len Liao, Li-Kuang Chen, Chia-Tsui Yeh, Chiu-I Liu, Shiou-Hwa Ma, at
al. Study of Dengue Virus Infection in SCID Mice Engrafted with Human K562
Cells. J Virol. 1998 December; 72(12): 9729–9737.
10. http://en.wikipedia.org/wiki/Dengue_fever
11. http://www.lookfordiagnosis.com/mesh_info.php?term=Dengue+Virus&lang=1
12. http://www.klinikum.uni-heidelberg.de/1-Genome-Organization-Viral-Protein-Expression.104949.0.html
14. Dash
PK, Parida M, Santhosh SR, Saxena P, Srivastava A, Neeraja M, at al..
Development and evaluation of a 1-step duplex reverse transcription polymerase
chain reaction for differential diagnosis of chikungunya and Dengue infection.
Diagn Microbiol Infect Dis. 2008
15. Ichiro
Kurane, Bruce LK Innis, Ananda Nisalak, Charles hoke, Suchitra Nimmannitya,
Anthony Meager, at al. Human T cell respons to dengue Virus antigen
16. Mercado-Curiel
RF, Black WC 4th, Muñoz Mde L (2008). A Dengue receptor as possible genetic
marker of vector competence in Aedes aegypti. BMC Microbiol. 15;8:118.
17. Harli
Novriani, Respon imun dan derajat kesakitan Demam Berdarah Dengue dan Dengue
Shock Syndrome, Tinjauan kepustakaan P3M. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Depkes RI, Jakarta, CDK 134,2002.
18. http://www.panama-guide.com/article.php/2006030616243927
19. http://expasy.org/viralzone/all_by_species/43.html
21. Martien
L. Kapsenberg, Dendritic-cell
control of pathogen-driven T-cell polarization. Nature
Reviews Immunology 3, 984-993 (December 2003): http://www.nature.com/nri/journal/v3/n12/fig_tab/nri1246_F2.html
22. http://denguemu.wordpress.com/pathogenesis/